Sesuatu yang tidak ditakdirkan untuk mu selalu punya caranya untuk pergi. Begitu pun sebaliknya, segala sesuatu yang telah menjadi takdirmu selalu menemukan jalannya untuk datang dan tetap tinggal. Kak Fabian mungkin tidak ditakdirkan untuk ku hingga di saat detik-detik krusial dimana kami hampir bersatu dalam ikatan suci pernikahan, hatinya malah berbalik arah.
Aku sadar bahwa yang seharusnya kulakukan adalah menerima yang telah terjadi dan mengikhlaskannya, namun kenyataan bahwa aku masih mencintainya membuat ku masih terus memikirkannya dan tidak jarang ingatan ku kembali pada masa-masa indah yang pernah ku lalui bersamanya.
Rasa kecewa juga membuat dada ku terasa sesak. Ku kira selama ini Kak Fabian benar-benar hanya mencintai ku. Sempat ku berpikir bahwa ia pernah memiliki hubungan dengan wanita lain sebelum bersama ku, aku bahkan tak mempermasalahkannya saat itu. Namun saat itu Kak Fabian sendiri yang mengatakan dan meyakinkan ku bahwa hanya diriku yang ada di hatinya dengan semua perlakuan juga bukti catatan hariannya selama dia di London.
"Intan" usapan lembut di puncak kepala ku menyadarkan ku dari lamunan ku.
Ku kerjapkan mata ku untuk mengembalikan pikiran ku ke tempat raga ku berada. Saat ku dongakkan kepala ku, ku dapati Farhan yang berdiri di samping ku dengan seulas senyum di wajahnya.
Ia duduk di hadapan ku dan memandang keluar jendela yang berembun terkena siraman air hujan. Ia menggenggam kedua tangan ku dan mengunci ku dalam tatapannya.
"Kamu nggak harus kelihatan baik-baik aja di depan aku" ujar Farhan seakan mengetahui isi kepala ku.
"Farhan maafin gue. Gue bener-bener minta maaf. Nggak seharusnya lo keseret dan ngerasain imbas dari masalah gue" ungkap ku.
"Nggak perlu minta maaf In. Aku sendiri yang mutusin buat nikahin kamu"
"Tapi Han gue juga tau kalo lo sama sekali nggak punya perasaan ke gue. Gue ngerasa lo lakuin ini karena rasa sayang lo sebagai sahabat ke gue dan itu jadi beban tersendiri buat gue" ungkap ku.
Farhan terdiam cukup lama dan hanya tertunduk. Ia mengusap puncak kepala ku dan menangkupkan kedua tangannya di wajah ku.
"Mungkin sekarang emang nggak tapi aku percaya kalo cinta bisa datang karena terbiasa. Gimana kalo kita mulai dari cara bicara kita?" usulnya.
"Cara bicara?" tanya ku.
"Iya. Mungkin kamu bisa ganti lo-gue jadi aku-kamu ke aku misalnya" jawab Farhan yang ku pahami maksudnya.
"Nanti yah" ujar ku yang hanya dibalas anggukan oleh Farhan.
"Sekarang kita turun, Mama sama Papa pengen ngomong katanya" jelas Farhan.
Aku dan Farhan pun menuju taman belakang, tempat Mama dan Papa biasa bersantai jika sore hari menjelang. Ku lihat mereka duduk berdua di gazebo sambil bercerita, ditambah sepoci teh dan sepiring cookies yang menjadi pelengkap santai sore mereka.
Dari ambang pintu, ku perhatikan kedua orang tua ku. Bagiku pemandangan seperti itu adalah sesuatu yang biasa ku lihat. Mama akan menyambut Papa ketika Papa pulang kerja. Tidak jarang, aku dan adik-adik ku ikut bergabung dan bertukar cerita, meski terkadang apa yang kami ceritakan bukanlah sesuatu yang penting, hanya seputar kegiatan sekolah. Namun, setelah menikah, aku sadar bahwa aku harus mengikuti suami ku, dan hal-hal kecil seperti inilah yang pasti akan sangat kurindukan.
"Intan, Farhan kenapa cuma berdiri disitu? Sini nak" tegur Mama ketika menyadari kehadiran ku dan Farhan.
Aku mengambil tempat duduk di samping Papa yang tersenyum hangat kepada ku sedangkan Farhan mengambil tempat duduk di samping ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
IF (Ketika Cinta Tidak Lagi tentang Kita)
Teen FictionJika sesuatu terjadi sesuai dengan harapan maka itu anugerah yang harus disyukuri. Namun jika tidak, maka itu lebih baik lagi sebab itu kehendak Tuhan 🍃🍃 -IF-