~4~

4 8 7
                                    

Suara jam weker mengusik tidur nyenyak Egi. Dengan mata yang masih terpejam dia  mengambil jam weker dinakasnya. Matanya sedikit terbuka untuk melihat jam.

"Oh... baru jam 06.50," gumamnya kembali memejamkan matanya dengan jam weker masih setia di tangannya.

"Apa! Jam 06.50?" teriaknya kemudian bangun dengan cepat dari ranjangnya.

Brakkk...

Egi melempar jam weker di tangannya kesembarang arah lalu berlari ke kamar mandi. Entah bagaimana nasib jam wekernya saat itu.

Tak sampai 5 menit dia sudah keluar dari kamar mandi dan langsung memakai seragamnya.

"Ahh masa bodoh! Walaupun enggak mandi gue tetap ganteng," ucap Egi dengan PD sambil menatap dirinya di cermin. Dia mengolesi rambutnya dengan gasby dan menyemprotkan parfum ke seluruh tubuhnya. Dengan cepat memasukkan barang-barang yang perlu dia bawa ke sekolah.

Egi berlari menuju motornya di garasi dan mulai mengendarainya menuju sekolah. Setelah tiba di sekolah dia menghela nafas lega karena tidak terlambat dan melangkah menuju kelasnya dengan muka datar tanpa menghiraukan sapaan dari beberapa siswi yang ia lewati.

Egi termasuk siswa yang diminati oleh para siswi di sekolahnya, tapi tidak ada yang berani melangkah lebih untuk mendekatinya. Disapa saja, kadang Egi mengabaikan sapaan itu, apalagi untuk diajak mengobrol bisa saja Egi hanya diam tanpa membalas ucapan orang itu. Tatapan datar yang sudah menjadi ciri khasnya itu malah menjadi daya tarik bagi semua siswi di sekolahnya.

Kelas sudah ramai saat Egi tiba.

"Awas," ucap Egi pada Amzar yang duduk di kursinya.

Sebelum berdiri, Amzar mengambil semua kuaci yang berada di atas meja Alvaro.

"Punya gue." Alvaro mencoba mengambil kuaci yang berada di genggaman Amzar.

"Beli dong." Amzar mempererat genggaman kuaci itu.

Alvaro menatap Amzar sebal, dia yang membeli kuaci itu dan seenaknya Amzar yang mengambil semuanya. Ingin membeli, pasalnya kuaci itu adalah kuaci terakhir di kantin sekolahnya.

Egi menatap keduanya dengan jengah. Entah kapan keajaiban datang hingga keduanya tidak memperebutkan sesuatu.

"Zar!" panggil Egi membuat Amzar berdiri dan menatap Egi sambil cengengesan.

"Makasih, Var." Amzar mengangkat tangan yang menggenggam kuaci itu kemudian dengan santai melangkah keluar kelas.

"Kuaci ku," ucap Varo dengan nada lemah dengan tangan kanan yang terulur ke arah Amzar yang sudah pergi.

"Lebay." Egi menoleh ke samping, menatap datar Varo.

Mendengar itu, mimik muka Varo dibuat seakan-akan perkataan Egi sangat melukai hatinya. Tangannya kirinya bahkan sudah berada tepat di depan dadanya.

Egi menghela nafas melihat tingkat Varo yang sangat dramatis. Andai saja masih bisa, dia ingin pindah tempat duduk. Sudah cukup melihat tingkah Varo yang semakin hari semakin absurd.

"Tugas lo udah selesai, Gi?" Pertanyaannya itu membuat Egi menoleh ke arah Amzar yang sedang berdiri di dekatnya. Sepertinya kuaci yang tadi diambilnya sudah habis.

Egi mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata.

"Liat dong." Varo segera membuka tasnya untuk mengambil buku dan pulpen.

Ya, Varo kembali ke mode normal.

"Minta." Varo mengelurkan kedua tangannya ke depan Egi, persis seperti seseorang yang ingin meminta uang. Jangan lupa, raut wajah yang dia buat semelas mungkin.

FreegieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang