3.

269 61 6
                                    

Aku menaruh tas di cabang dekat pohon. Menggerakkan kedua bahuku yang pegal. Lalu ikut mendekati mata air. Setelah mengisi air secukupnya di botol minuman. Aku menangkup air, mereguknya sedikit. Rasa segar dan sejuk mengaliri kerongkonganku. Aku hanya membasuh wajah, sebagian rambut dan leher belakang. Di seberang cerukan, para laki-laki terlihat sedang berendam berikut Fani dan Lili. Jangan berpikir negatif dulu, mereka berenang dengan mengenakan baju yang mereka kenakan. Hanya aku seorang yang memilih menjauh. Mencari spot ternyaman dan memandangi alam sekitar yang begitu asri. Begitu ya rasanya hidup dalam pedalaman.

Kakiku terjuntai menyentuh air. Kedua tangan menyangga tubuh di belakang. Dan kepala mendongak menatap langit biru yang berpadu dengan dedaunan hijau. Karena suasana yang begitu tenang, bibirku mengalunkan nada nyanyian tanpa lirik dan syair lagu.  Gumaman yang menyatu dengan deruhnya lirih angin. Dan gemercik air di bawah kakiku. Sesekali burung nampak melintasi langit tempat aku memandang.

"Na na na~ na~ na na~ na na~"

"Na~"
Kepalaku sontak menoleh ke kiri. Mendengar suara berat yang menyambung nyanyianku. Aku berdiri waspada. Memakai sepatuku lagi. Suaranya tidak ku kenali. Jelas, sosok pemilik suara itu bukan dari kelompokku.

Mataku melirik sekitar. Namun, tidak ada siapapun. Aku yakin ada seseorang disana. Tapi, dimana dia? Di balik pohon? Bersembunyi di belakang semak-semak?

"Siapa disana?" Seruku. Aku terlalu takut untuk mencari tau. Tetap disini, adalah zona aman.

Hening. Hanya lambaian ilalang yang menjawab tanyaku.

"Apakah ada orang?" Kakiku melangkah mendekati asal sumber suara tadi. Seiring degup jantungku yang berpacu kencang. Menghentak-hentak bersama ketakutan yang menyeruak kepermukaan.

Suara gemerisik dedaunan yang bergesekan menghentikan langkah. Tanpa harus aku kesana. Sosok berjubah hijau yang terlihat sebagian memunculkan dirinya dibalik pohon. Napasku terenggut. Tidak ku dengar lagi. Hanya terbius tatapan tajam dari bola mata hijau yang berkilau aneh membekukan langkahku.

Melihatkku tak berkutik bagai patung. Sosok itu perlahan-lahan keluar. Wajahnya putih pucat. Tanpa alas kaki. Ia mendekatiku selangkah demi selangkah. Dia pria. Walau kepalanya di tutupi tudung, namun garis kokoh rahang dan hidung yang menjorok tinggi itu tak memudarkan ketampanannya yang terasa ganjil.

Mataku hanya terpaku, bagai terkena mantra sihir yang beku. Setiap sendiku tidak bisa digerakkan. Otakku seperti lumpuh tidak dapat bekerja. Tak tau apa yang harus dilakukan.

Dia berhenti. Jaraknya sungguh dekat. Aku bahkan sudah tidak bisa merasakan detakan jantungku lagi. Tangannya terulur seolah ingin meraih wajahku. Menatap kuku-kuku yang sangat panjang itu, membuat bola mataku membeliak ngeri. Mau apa dia? Mencakar wajahku? Tapi aku salah apa? Dan siapa dia? Apakah orang gila? Masa orang gila bisa sampai ke hutan?

Dan sebelum tangan itu menyentuh pipiku. Tatapan pria itu mendongak. Melihat ke arah belakangku. Berbalik dan berjalan begitu cepat. Tanpa takut kakinya akan tergores oleh akar pohon atau kerikil kecil. Aku menghela napas panjang. Dan terjatuh lemas. Sambil mengumpulkan aksigen di paru-paruku.

Selang beberapa menit dari kepergian laki-laki aneh itu. Aku mendengar bunyi daun kering yang diinjak. Kepalaku menengok ke belakang. Terlihat dari kejauhan pria besar berbadan tegap. Rambut yang masih basah dan kaus yang sudah berganti.

"Sedang apa kau disini?"

***

2 april 2021

Vote dan komen yaaa 😊

Maaf kayaknya wattpad lagi eror ya. Babnya jadi double. Ini sudah ku perbaiki

Bagai Bunian Merindukan Bulan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang