Angin malam makin berhembus dingin. Aku menatap bulan berbentuk setengah melengkung di langit penuh bintik cahaya. Benar. Jika dipandang didekat gunung atau bukit, langit terasa sangat dekat dan jauh lebih indah. Aku kembali menggosok-gosok tangan dan menghadapkannya ke api. Untuk memperoleh kehangatan. Aku sudah memakai jaket, tapi suhu dingin ini tetap saja menusuk sampai ke kulit.
Kini hanya tersisa Aksa dan Juna. Sepertinya mereka yang berjaga malam ini. Sedangkan Kevin dan Reo tidur di tenda satunya.
"Belum tidur, Lin?" Tanya Aksa. Yang sudah meletakkan gitarnya.
Aku menggeleng, "nggak bisa tidur."
"Mau aku nyanyiin supaya cepet tidur?"
"Hahaha...nggak usah. Terima kasih. Musik tidak bisa buat aku tidur, yang ada malah betah dan denger musik semalaman."
"Sekalipun nadanya pelan dan mellow?"
"Aku suka musik yang iramanya pelan dan sedih. Jadi, kayaknya nggak mempan."
"Ok, baru tau ada orang yang kayak gitu."
Aku hanya tersenyum untuk menanggapinya. Lalu kembali tenggelam pada aktivitas tadi. Waktu terus berjalan. Hingga aku tersentak oleh bunyi dengkuran. Dan membuatku menoleh. Aksa tertidur. Dan hanya tersisa aku dan Juna yang masih didepan api unggun. Ia juga tidak melakukan apapun. Sepertinya kegiatan yang ia lakukan sudah selesai.
Merasa canggung dan tak enak dengan suasana sekarang. Apalagi dengan kejadian petang tadi, yang membuatku terus menerka-nerka. Aku putuskan untuk masuk ke tenda.
Namun, sebelum niatku terlaksa. Juna sudah berdiri duluan. Mengambil tempat disisiku yang diam mematung. Ia menambah kayu ke bara api. Mengatur agar api tetap menyala terang.
Sebelum keadaan ini makin aneh, aku cepat-cepat berkata, "A... ak..aku mau masuk tenda."
Lagi-lagi niatku itu urung. Kala Juna menyodorkan segelas susu putih didekatku.
"Minum." Katanya pendek.
"Buat apa?"
"Supaya kau bisa tidur. Susu putih bagus untuk tidur."
"Terima kasih."
Sepertinya ini wajar perhatian sebagai teman ya kan?
Aku tersedak dan terbatuk-batuk.
"Pelan-pelan minumnya, Bulan."
Baik, dia memanggil nama belakangku. Disaat orang lain dan keluargaku memanggilku nama depanku. Sepertinya itu masih wajar. Jangan geer. Kapan batuk ini berhenti?
Dan bagaimana aku tidak batuk terus saat tangannya ikut membersihkan sisa susu di bibirku dan menyelipkan rambutku di balik telinga? Mungkin itu untuk membantuku, saat tanganku sibuk mengurut dada. Berpikir positif Lina.
"Sekarang, minum pelan-pelan. Aku tetap menunggu sampai susu ini habis. Jadi, jangan tergesa-gesa."
Aku mengangguk. Mataku menatap ke dalam cangkir. Sesuatu kebiasaan yang tidak pernah ku lakukan. Tentu saja aku gugup sekarang. Juna benar-benar menunggu, tapi ia tidak perlu menatapku juga. Tangannya juga masih mengusap-usap punggungku walau batukku sudah reda. Ini modus atau apa?
Aku berharap setelah aku menyerahkan gelas pada Juna, aku akan pamitan lalu ke tenda. Tapi, lagi-lagi Juna membuat jantungku berolahraga lagi. Ia membuka jaket tebalnya. Dan menyampirkannya ke bahuku.
"Kau kedinginan." Ia mengambil kedua tanganku. Digenggamnya di kedua tangannya. Lalu digosok-gosokkannya agar hangat.
Sepertinya jantungku sudah split ke mars.
***
17 April 2021
Vote dan komen yaaa 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagai Bunian Merindukan Bulan [End]
Paranormal"Aku menunggumu. Untuk ratusan purnama. Mengambil apa yang menjadi milikku. Duhai kasih, tempatmu pulang hanya padaku." --- Awang Rajendra Candrakhumara "Tolong, pergi. Kenapa kalian terlihat rumit?" --- Lina Bulan. "Bulan, tempatmu berakhir padaku...