5.

258 58 12
                                    

"Gila. Indah banget!" Itu teriakan Fani.

"Nggak heran, Indonesia disebut surga." Ujar Kevin.

"Ini adalah kenangan manis dan indah yang pernah ku punya. Aku akan menyimpannya dan memgenangnya tiap waktu. Dan berharap kita akan berjumpa lagi seperti ini." Lili mengatakan kalimat itu sambil memandang Juna disampingnya.

Aku bisa melihatnya. Karena aku duduk di sebelah Juna. Di sebelahku lagi Reo. Yang sama-sama diam menikmati pemandangan. Aku hanya diam saat pancaran mata Lili mulai surut karena tak dibalas oleh Juna yang sibuk menatap pemandangan didepannya. Lili kembali menatap ke depan.

Baiklah, aku tau itu menyakitkan. Saat kita jatuh cinta dan perasaan kita hanya bertepuk sebelah tangan.

Tapi, Lili itu cantik. Ia bisa memilih mau sakit hati atau dicintai. Banyak laki-laki yang menyukainya. Fisiknya tidak diragukan lagi. Prestasinya apa lagi. Dia nyaris sempurna. Semua yang dimilikinya diidaman perempuan. Termasuk diriku.

Tapi, yang namanya cinta tidak bisa dipaksakan bukan? Dan tidak bisa berlabuh sekehendak kita. Juga tidak bisa dimiliki jika yang lain tidak suka.

Perkara cinta memang ru---

Aku tersentak. Tanganku bersentuhan. Aku menunduk, melihat jarak tanganku dan tangan Juna tak berjarak. Aku cepat memundurkan tanganku hingga ke sisi tubuh. Bersyukur Juna masih menatap ke depan.

Baru saja hendak menatap kembali ke depan. Aku dibuat kaget saat tanganku digenggam oleh telapak tangan yang besar dan hangat. Aku menunduk lagi, memandang tangan Juna yang membungkus tangan kecilku. Kupikir ia tidak sengaja, tapi saat hendak menarik tanganku. Tangannya tambah mengerat dan meremas pelan sampai ke jantungku yang berdetak-detak tak terkendali.

Aku mendongak menatapnya. Namun, tatapannya masih tertuju ke depan. Apa maksudnya? Aku berusaha menarik tapi genggamannya makin kuat. Kalau berbicara, otomatis orang-orang akan melihat kemari dan melihat tangan kami. Astaga, apa sih maksudnya?

Dan sisa senja itu, ku habisi dengan wajah memerah malu, tubuh kaku, dan perasaan tak karuan.

"Dari sejak habis menonton senja tadi kau tampak lebih diam, Lin." Ucap Fani membuat beberapa pasang mata tertuju padaku.

Saat ini kami sedang mengelilingi api unggun. Sudah makan, dan sedang mengobrol santai. Aksa membawa gitar. Tak kusangka pria berkaca mata itu ternyata pintar musik. Kevin masih setia dengan kameranya dan terus menjahili Fani. Sepertinya laki-laki itu menyukai Fani, ini hanya hasil pemikiranku. Reo menjaga api tetap menyala. Lili menikmati musik yang dinyanyikan Aksa. Sementara Juna sibuk mencatat sesuatu. Dan hanya aku seorang yang tidak beraktivitas apa-apa dan kerjaannya hanya menatap api lalu sekitar. Terus berulang seperti itu. Sampai pertanyaan Fani membuatku diam. Yang sebenar-benarnya diam. Tidak bisa jawab.

"Lina kan memang pendiam dan kalem. Nggak sepertimu yang cerewet." Cibir Kevin.

"Bukannya kau yang cerewet dari tadi melebihi mulut perempuan?" Balas Fani sengit.

"Kadang-kadang lucu, ada dua orang yang saling suka tapi karena gengsi menutupinya dengan saling mencibir. Dan ada tiga orang yang mencintai tapi bertepuk sebelah tangan." Perkataan Reo yang keluar pertama kalinya membuat seluruh mata memandangnya.Termasuk Juna yang ikut menghentikan kegiatannya.

"Dapat kata mutiara dimana kau, Reo?" Kevin terkekeh, memiting leher Reo tidak keras. Tapi, cukup membuat Reo tertawa.

"Sekalinya ngomong, ucapan kau melebihi firasat ibuku." Timpal Aksa.

"Tau deh, aku nggak ngerti." Fani mengangkat bahu acuh, "masuk yuk. Dingin."

Ia mengajakku dan Lili. Lili mengangguk sementara aku menggeleng.

"Aku masih disini. Mau dekat api."

"Nanti nyusul ya, Lin."

"Iya."

***

13 April 2021

Vote dan komen yaaa 😊

Bagai Bunian Merindukan Bulan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang