7.

255 65 11
                                    

Pagi hari, aku menjadi orang terakhir yang bangun tidur. Matahari sudah terik. Tapi, rasa kantuk masih membayangi mataku. Jelas karena aku tidak bisa tidur semalam. Pikiranku disibukkan dengan tingkah Juna yang aneh dan praduga-praduga di otakku makin membuat kantuk itu hilang.

Keluar tenda, semua teman-temanku sudah siap-siap untuk perjalanan selanjutnya. Tinggal aku yang belum.

"Baru bangun?" Tanya Fani.

Aku mengangguk dan mengulas senyum tak enak, "Sudah mau pergi ya?"

"Nggak kok, baru siap-siap saja. Masih sempat kalau mau mandi. Nanti aku bilang sama yang lain untuk tunggu."

"Sepertinya nggak, aku cuci muka saja sama gosok gigi. Tolong bilang yang lain ya, tunggu sebentar."

"Mau di temani?"

"Nggak usah." Aku menggeleng sungkan apalagi melihat aktivitas Fani sibuk.

Fani mengangguk lalu ia menunjuk pakai ibu jarinya ke suatu arah, "Ok, didekat sini ada danau kecil. Airnya jernih kok. Tadi kami barusan mandi disana. Tinggal lurus. Nanti ada batu besar, nah di sampingnya."

Bergegas aku mengambil handuk dan peralatan mandi. Menyusuri jalan sesuai arahan Fani. Memasuki pohon-pohon yang makin merapat, aku memberi tanda pada setiap batang dengan pembatas buku yang selalu ku bawa. Aku pelupa, jadi sering bawa yang seperti ini kalau ada waktu yang mendesak dan mengharuskan diriku sendirian. Dan benar, kata Fani. Tidak jauh dari aku bejalan ada sebuah danau tenang berukuran kecil. Tapi masih besar juga untuk ukuran manusia. Mungkin sebesar dua rumah yang digabungkan. Mengeluarkan sikat gigi, pasta gigi dan sabun muka. Astaga! Aku lupa minjam ember kecil di Fani. Mau tak mau harus pakai tangan.

Suara jangkrik dan serangga-serangga hutan menemani aku menggosok gigi. Saat meletakan sabun muka di tangan, aku melihat bayangan seseorang berdiri disamping pohon dari ujung mata. Sontak aku menengok ke belakang. Mengamati pohon-pohon di sekelilingku. Tidak ada. Mungkin hanya perasaanku saja.

Aku melanjutkan menggosok-gosok tangan hingga berbusa banyak lalu menggosokkannya di wajah. Memijat lembut wajahku kemudian menangkup air dan membasuhnya di wajah. Sampai benar-benar bersih dan tidak ada sabun lagi. Begitu membuka mata, napasku tercekat di kerongkongan melihat bayangan di air. Bukan hanya diriku tapi seseorang lagi di sampingku. Aku segera menoleh dan terkejut hingga terduduk menatap seseorang berdiri sangat dekat di tempat aku semula. Bukan hantu tapi benaran ada wujudnya. Itu pria kemarin. Yang mengenakan jubah hijau dan mata hijau bening yang memantulkan cahaya aneh dan membius.

"Si--siapa kau?" Tanyaku terbata.

Bukan jawaban yang ku dapat. Justru tubuhnya makin mendekat sedangkan tubuhku tidak bisa digerakkan. Beku. Kaku. Dan kalut.

Ia membungkuk, wajahnya sejajar dengan wajahku yang pias. Manik hijaunya bergerak meneliti wajahku seiring napasku yang makin terenggut.

"Awang Rajendra Candrakumara."

Dan setelah ia berbicara dengan intonasi berat dan jenis suara yang tak pernah ku dengar dari manusia manapun. Membuat sekujur tubuhku bergetar merinding. Gelap langsung menyerangku. Dan aku tidak ingat apapun selain pandangan kabur makin menghitam.

***

21 April 2021

Vote dan komen yaaa 😊

Bagai Bunian Merindukan Bulan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang