13.

241 56 24
                                    

"Dia sama kau pergi keluar. Tapi kau sama Reo terus. Astaga! Bagaimana ini?!" Kevin berdiri panik. Fani terserang syok. Sedangkan wajah Aksa berubah pucat dan Lili hanya terkejut sedikit.

"Tunggu, aku tidak mengerti. Apa maksud kalian dari tadi?"

"Kau yakin tidak kesini barang sebentar?"  Aksa menatap gelisah ke arah Juna.

"Aku sama Reo terus. Dan baru sekarang balik dari mengambil ranting."

"Sepertinya aku mulai mengerti." Semua tatapan kini tertuju ke Reo, "sebelum kami datang. Ada seseorang yang menyerupai Juna datang kesini sendiri dan memberi alasan bahwa aku bab jadi di tinggalnya. Lalu ia pergi mengajak Lina keluar darisini?"

"Iya! Itu dia!" Kevin menangguk.

"Jadi ada orang mirip aku tengah membawa Lina pergi?" Juna memastikan.

"Iya, tapi belum lama."

Juna sontak beranjak dari duduknya. Ia mengambil senter.

"Mau kemana? Jangan bilang mau mencari Lina?" Cegah Aksa memblok jalan Juna.

"Lalu aku harus membiarkannya begitu saja?! Mereka pasti belum jauh! Jangan menghalangiku, Aksa!"

"Aku tau kau menyukainya! Tapi gunakan otakmu! Kita di tengah hutan dan menjelang tengah malam! Banyak hewan buas dan lainnya! Pergi sendirian bukan satu-satunya pilihan! Kita ini cuma manusia dan semua memiliki keinginan sama untuk hidup sampai keluar di hutan ini. Bukan hanya kau saja yang cemas, tapi kami juga. Jika kau masih nekat pergi bukan Lina saja yang hilang, tapi kita-kita disini memiliki kemungkinan yang sama!"

Juna menghempaskan bokongnya ke tempat duduknya tadi. Ia mengusap wajah sampai ke belakang kepalanya.

Dadanya masih turun naik mengisi udara. Aksa ikut duduk, "Kalau dari pengamatanku. Dia bukan manusia."

"Hah? Maksudmu han .... gost?" Kan tidak boleh bicara sembarangan. Lain hal dengan bahasa inggris. Hantu tidak mengerti bahasa Inggris kan? Pikir Kevin.

"Ini hutan. Semua hal yang mustahil bisa jadi mungkin. Tidak ada orang tinggal di hutan apalagi wajahnya duplicate Juna. Jawabannya hanya satu, entah siapapun sosok itu sepertinya sudah lama mengawasi kita."

"Aku satu pemikiran dengan Aksa. Dan sepertinya aku tau siapa itu."

Sekali lagi seluruh pandangan menatap Reo.

"Yang di ambilnya hanya Lina. Gadis yang sudah di tandai. Awang Rajendra Candrakumara."

Angin tiba-tiba berhembus kencang hingga menyebabkan daun-daun kering beterbangan dan dahan-dahan pohon bergemerisik saling bertubrukan. Mereka sontak diam. Memandang api unggun yang meliuk-liuk tersapu angin.

"Kalau begitu, kita harus cepat. Aku tidak takut apapun. Dia harus mengembalikan Lina karena itu bukan miliknya." Ucap Juna tegas.

Berbalik dengan ekspresi Lili yang terguncang. Jadi, selama ini Juna menyukai Lina? Tapi bisa saja Aksa berbohong. Dia berbicara asal-asalan. Namun, kenapa Juna tidak menyanggahnya? Apa itu benar? Rasa khawatir berlebihan itu karena orang yang di sayanginya? Bukan... rasa cemas teman?

Dan kenapa semua orang tidak ada yang terkejut? Apa mereka sudah tau? Berarti hanya ia yang selama ini buta? Buta karena terlalu mencintai sangat dalam hingga jatuh tanpa bisa berkata-kata. Kenapa rasanya bisa sesakit ini? Kenapa Aksa tidak memberitahunya? Kenapa mereka begitu cemas sama Lili? Bagaimana jika dirinya yang hilang apakah mereka akan bersikap sama? Apa Juna akan langsung mengejarnya seperti ia sekarang? Atau ... tidak?

"Lili, jangan menangis. Kita akan menemukan Lina."

Dan tangisan Lili bertambah. Tidak. Tidak. Dia bukan menangis karena itu. Sungguh, apakah tidak ada yang mengerti dirinya? Apa tidak ada yang peduli padanya? Hatinya sedang sakit... sakit sekali.

Lantas apa yang selama ini ia usahakan? Mengikuti kemanapun langkah Juna. Berusaha terus di dekatnya. Merubah dirinya menjadi sempurna, cantik, pintar dan segala apapun yang di inginkan perempuan ada padanya. Namun, kenapa Juna tidak melirik itu? Kenapa ia justru melihat perempuan biasa itu?! Yang tidak pintar, tidak cantik, anti sosial dan ... astaga bagaimana mencintai seseorang bisa demikian sakit?

Lili menyembunyikan wajahnya di antara lipatan lutut. Tangisannya makin hebat. Fani berusaha menenangkan Lili dan berakhir sia-sia. Aksa menyugar rambutnya hingga ke belakang. Ia mengerti. Lili tidak akan menangis karena Lina. Gadis yang sangat mencintai dirinya sendiri itu tidak mungkin menngis hebat gara-gara teman. Ini pasti karena ucapan yang kelepasannya tadi.

Aksa berjongkok di depan Lili. Mengusap bahu bergetar itu dengan lembut.

"Lili." Panggil Aksa. Namun, tak ada sahutan.

Ia menghela napas, "Maaf, Lili."

Dan isakan Lili makin kuat. Aksa segera memeluk Lili. Menyembunyikan tubuh mungil itu dalam tubuhnya yang besar. Mengusap punggungnya yang naik turun. Lili menelusupkan wajahnya ke dada Aksa. Meredam tangisannya yang enggan berhenti. Seraya mencengkeram jaket Aksa dengan kedua tangannya.

***
7 Mei 2021

Vote dan komen yaaa 😊

Bagai Bunian Merindukan Bulan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang