4.

256 58 0
                                    

"Sedang apa kau disini?"

Aku berusaha berdiri, "Tidak ada, hanya mencari udara segar."

"Jangan pergi terlalu jauh, ini hutan bukan taman bermain yang jika hilang akan mudah mencarinya."

"Maaf."

"Ayo."

Aku mengangguk. Berjalan di belakang Juna. Diisi keheningan yang meraja. Merasa di perhatikan aku mendongak. Mata kami saling berpandangan.

"Jangan terus menunduk. Tertabrak cabang pohon yang melintang, aku tidak akan membantumu."

Aku mengiyakan agar cepat. Ha ... daritadi kena marah terus. Perasaan Lili tidak pernah di marahinya. Lagipula kenapa dia repot sendiri sih, aku mau ngapain juga itu urusanku.

Sampai ditempat tadi. Cuma ada Reo yang memeriksa barangnya, Kevin yang mengutak-atik kameranya dan Aksa yang tidur. Sementara Fani dan Lili tidak ada. Ku pikir Juna akan marah-marah karena masih ada dua anggotanya lagi yang kurang. Tapi ternyata ia mengambil tempat duduk di samping Aksa. Dan meneguk minumannya dengan santai.

Dan aku duduk di dekat Reo. Karena tasku berdekatan dengannya.

"Reo, kau tau dimana Fani dan Lili?"

"Mereka sedang selfie."

"Oh."

Tak lama waktu berselang, Fani datang sendirian. Ia langsung meneguk minumannya.

"Fan, dimana Lili? Ini sudah lebih dari jam tiga." Tanya Kevin kesal.
"Masih selfie."
"Dasar perempuan."
Hampir pukul empat sore. Lili datang dengan ponsel yang tergenggam. Bibirnya tersenyum ceriah.
"Aku dapat pemandangan yang cantik banget. Apalagi, wajahku terlihat natural dan cantik disini." Cerita Lili pada Fani.
"Ayo, ayo, cepat. Nanti kita ke maleman." Sela Kevin yang sudah menyandang tas.
Semua ikut berdiri termasuk diriku. Tidak ada yang memarahinya. Memberinya nasihat atau ancaman. Bahkan Juna diam sedari tadi. Ia memimpin jalan seperti biasanya.

Sebenarnya tidak boleh senang diatas penderitaan orang. Tapi, yang namanya di perlakukan tidak adil tetap saja rasanya tidak enak.

Aku mengikuti mereka dengan perasaan dongkol.

Fani menyenggol lengan ku, "Kenapa kau?"

Kedua alisku menyatu bingung, "Memangnya kenapa?"

"Wajahmu terlihat cemberut."

Aku memberinya senyum tipis, dan menatap ke depan, "Moodku sedang buruk saja."

"Karena?"

"Suatu hal."

"Kau tidak mau memberitahukan padaku?"

"Bukan hal penting juga. Ayo, nanti kita tertinggal."

Akhirnya setelah beberapa kali mendaki, berjalan hingga pegal. Kami sampai di dataran agak tinggi. Sesuai kriteria yang kami inginkan, padang rumput tanpa ilalang dengan sedikit pohon. Langit nampak sudah jingga. Matahari sedikit lagi pulang ke peraduan. Banyak sekali burung-burung berterbangan di atas kepalaku. Hembusan angin berubah dingin. Para laki-laki mulai mendirikan tenda, sebagian lain mencari kayu bakar dan wanitanya memasak.

Didetik terakhir senja, kami semua berkumpul. Berbaris memanjang duduk melihat cahaya matahari terakhir. Di dekat sebuah jurang bersudut 90 derajat dibawah ada aliran air dari air terjun di seberang kami. Yang mengalir sangat deras menciptakan nyanyian alam paling indah yang tak tertandingi oleh musik manusia. Dan pantulan jingga di sepanjang aliran air terjun memperindah pemandangan bersama canvas langit sangat cantik yang tak bisa ku urai dengan kata-kata. Ini pelukis paling hebat dan tak bisa ditandingi oleh siapapun. Sanga Pencipta alam ini. Aku sangat takjub dan jantungku berdetak menyaksikan kehebatan Tuhan yang maha Esa. Ini hanya setitik kecil dari kehebatannya, belum dengan angkasa luas sana dan keajaiban yang tidak bisa dinalar oleh akal manusia.

***

9 April 2021

Vote dan komen yaaa 😊

Bagai Bunian Merindukan Bulan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang