9.

257 64 11
                                    

"Bisa, walau pelan." Ringisku.

"Juna?"

Mata tajam Juna menoleh, "Ini hanya luka kecil."

"Ok, aku harap kalian cepat sembuh dan baik-baik saja. Jadi, bagaimana rencana ke depan Jun?"

"Pilihannya hanya tetap lanjut atau berhenti sampai disini?" Kevin bergantian menatap Aksa dan Juna.

"Aku tidak tau, segala keputusan bergantung pada ketua. Dan aku bukan ketuanya Kevin."

Juna menarik napas dan menghelanya, "Jika aku memberi voting mungkin banyak yang akan lanjut dan sedikit yang berhenti. Karena aku tau, ini rencana kita sejak jauh-jauh hari sebelum libur kuliah. Tapi, kita tidak bisa egois salah satu teman kita terluka. Dan bahaya yang tak tau akan datang atau tidak."

"Kalian jangan pedulikan aku." Ucapku dan membuat semua mata kini menatapku. Aku menarik bibirku tersenyum menangkan, "kalian teruslah naik. Aku akan turun sendiri. Aku akan meminta bantuan dengan warga-warga sini. Aku bisa kok berjalan." Sungguh, tidak enak melihat rencana ini batal hanya gara-gara aku.

"Ini juga baru hari kedua kita. Kita belum terlalu jauh. Mungkin Lina akan menemukan posko pertama." Sahut Lili menyetujui usulku.

"Dari pada mencari apakah akan lanjut atau tidak, kenapa kita tidak melihat masalah ini secara besar? Bukan garis besar. " Reo membuka suara, " kita hanya tau Lina akan bunuh diri bukan apa yang terjadi sebelumnya. Segalanya masih abu-abu. Dan memutuskan apakah akan lanjut atau tidak, itu belum tepat. Bukan hanya Lina saja yang terluka tapi Juna pun iya."

Beberapa ada yang mengangguk dan sebagian lagi diam. Termasuk Juna. Ia menatapku.

"Kenapa kau berjalan ke jurang? Dan menjatuhkan dirimu disana?"

Ditanya seperti itu dan perhatian terpusat padaku, mendadak otakku beku.

"Dia tidak ingat." Itu suara Fani, " aku tau, saat menanyakannya di tenda."

"Bagaimana tidak ingat? jelas-jelas kau berjalan seorang diri disana dan kami memanggil-manggilmu tidak kau hiraukan. Dan tiba-tiba kau menjatuhkan dirimu disana. Kau tau, Juna menjatuhkan dirinya dan menangkapmu. Kalian berguling-guling di jurang dan beruntungnya Juna sempat berpegangan agar kalian berdua tidak jatuh. Dua orang luka gara-gara ulahmu. Kalau memang niatmu untuk bunuh diri saat camping ini, setidaknya jangan melibatkan kami." Lili menatapku berapi-api. Berucap penuh emosi.

"Lili, jaga ucapanmu!" Bentak Juna.

Lili terlihat tercengang, kemudian menggigit bibirnya. Matanya berkaca-kaca. Ia berdiri namun ditahan Aksa yang duduk disebelahnya.

"Duduklah Lili. Berbahaya jika kau sendirian pergi. Tolong, mengerti. Kami tidak mau sesuatu terjadi padamu karena emosimu." Aksa mengeratkan pegangan tangannya pada Lili, "tenangkan dirimu, okey?"

Lili menghempaskan bokongnya. Memilih membuang wajah ke arah lain.

Aku merasa tidak nyaman. Sungguh, aku benar-benar tak tau.

"Aku tidak ada niat untuk bunuh diri. Maaf merepotkan kalian." Aku menunduk, "aku memang tidak ingat apapun saat kejadian itu. Yang aku ingat, aku sedang membasuh wajahku di danau. Lalu ... "

Apakah aku harus menceritakan laki-laki aneh itu?

Aku mendongak, dan semua mata masih menungguku. Sepertinya, iya.

"Ada ... Ada seseorang. Pria itu tiba-tiba berdiri di sampingku. Aku tidak tau dia siapa."

"Apakah dia berniat jahat padamu?" Aksa menatapku. Diikuti Juna yang menunggu jawaban.

"Tidak, sudah dua kali aku bertemu dengannya. Dia tidak melukaiku."

"Dua kali? Kok kau tidak cerita Lina?" Seru Kevin gemas.

"Karena, aku pikir aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Saat pertama, kami bertemu di dekat ceruk. Dia memakai jubah hijau. Matanya berwarna hijau bening. Hanya wajah dan tangan yang terlihat. Dia terlihat hendak menggapaiku namun segera menghilang begitu Juna datang."

Juna menyipitkan matanya. Mereka masih menungguku bercerita.

"Kemudian, aku bertemu dengan dirinya saat membasuh wajah di danau. Dengan jubah yang sama. Setiap bertemu dengannya, aku selalu tidak bisa bergerak. Jadi, aku hanya terduduk disana. Dan menanyakan siapa dia. Ketika dia mengucapkan namanya, seluruh pandanganku gelap. Aku tidak ingat kejadian setelah itu. Benar-benar tidak tau." Aku menggeleng terakhir kalinya. Dan menatap mereka semua dengan penyesalan, "maaf. Hanya itu yang ku ingat."

"Siapa namanya?" Reo mengawali pertanyaan pertama.

"Awang Rajendra Candrakumara."

Dan setelah aku menyebutkan nama itu, suara bising kepakan dan ratusan burung-burung keluar dari sarangnya. Membumbung ke langit di sekitar kami. Dan menuju keluar hutan. Sejenak kami memandang diam.

***

25 April 2021

Vote dan komen yaaa 😊

Bagai Bunian Merindukan Bulan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang