"Lina."
"Aku takut dia mati."
"Sekali lagi, kau ngomong Kevin. Aku tampar beneran."
"Kasih napas buatan saja."
"Dia itu pingsan goblok bukan tercebur."
"Ada minyak kayu putih?"
"Aku ada."
"Terima kasih, Li."
"Sama-sama Jun."
"Juna, luka kamu obati saja dulu. Biar Aksa atau Fani."
"Nanti saja."
Suara-suara itu menembus gelap. Namun, aku belum bisa melihat dan apa yang terjadi. Hanya sentuhan lembut dan seseorang yang memanggil namaku dengan halus.
"Nghh ..." Rasa sakit itu mulai datang.
"Dia sadar!"
"Lina, kau mendengarku?" Seseorang berbisik di telingaku.
Aku berusaha membuka kelopak mataku yang sangat berat. Mengerjab pelan. Dan berhasil. Pemandangan pertama yang ku dapat, wajah Juna yang berjarak sangat dekat. Wajah tampannya terkotori oleh tanah dan goresan luka.
"Syukurlah..." Ia terlihat bernapas lega dan diikuti yang lainnya.
Aku menoleh ke sekitar dengan lemah. Entah kenapa sekujur tubuhku sangat lemas. Bagai berlari sepuluh putaran di lapangan bola kampusku. Aku ingin sekali menanyakan, apa yang terjadi? Kenapa kami disini? Mengapa tatapan Lili menusukku? Apa yang membuat mereka lega?
"Biar aku saja yang bawa Lina, Jun." Aksa maju menawarkan. Justru tanggapan Juna berlainan, ia mengangkat tubuhku tanpa aba-aba. Sekilas, ia mengetatkan geraham dan alis yang mengernyit mungkin menahan sakit. Tapi, itu segera hilang. Tergantikan wajahnya yang menyiratkan baik-baik saja.
"Tidak perlu, ini salah satu tugasku sebagai ketua. Kita kembali ke perkemahan. Dan menunda perjalanan. Malam nanti kita pikirkan setelahnya." Lalu berjalan perlahan diikuti lainnya. Aksa masih sangsi meskipun mengekori. Sementara aku berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi padaku.
Melihat Juna yang sesekali membenarkan letakku dalam dekapannya diikuti deruh napas keras. Lili mengejar langkah di dekat Juna, "Benar kata Aksa, Juna. Tubuhmu pun penuh luka. Kau juga harus memulihkan tenagamu. Ini memang tanggung jawabmu tapi kamu juga harus memikirkan dirimu juga."
"Diamlah Lili. Aku tau mana yang harus dilakukan."
Dan ia berlalu membiarkan Lili tercenung. Aku baru menyadari, bukan wajahnya saja yang ternoda tanah. Tapi, seluruh tubuhnya pun bernasib sama. Aku bisa melihat luka-luka gores di lengan dan sobekan pakaian yang dikenakan Juna. Juga aku baru tau, ternyata aku sama kotornya dengan dirinya. Sekujur tubuhku bermandikan tanah. Dan pergelangan kaki kananku sakit saat digerakkan. Serta luka seperti tertusuk akar pohon. Tanganku perih, banyak goresan kecil-kecil yang mengeluarkan darah. Sebenarnya apa yang terjadi?
***
Di dalam tenda, Fani menunggui dan menyuapiku makan. Setelah tubuhku bersih dan luka-lukaku diobati aku diistirahatkan di tenda. Bebas tugas masak. Dan tidak boleh keluar tenda tanpa ditemani. Fani nampak sedari tadi menahan diri untuk bertanya sejak aku ditidurkan di tenda.
"Lina." Panggilnya.
"Ya?"
"Kenapa kau pergi kesana?"
"Pergi ke mana?" Kedua alisku menyatu bingung memandangnya.
"Ke jurang---"
"Jurang?" Potongku terperanjat.
"Kau tidak ingat?" Fani ikut heran.
"Tidak."
Gelenganku membuat Fani terdiam. Kevin menyeruak masuk. Ia menatapku.
"Kau sudah baikan?"
Aku perlahan berusaha bangkit duduk, "Ya, aku masih bisa bergerak."
"Juna, menyuruh untuk kumpul. Tapi, kalau kau masih tidak sehat, kau tetaplah disini. Aku akan mengatakan pada mereka." Kevin memberi senyum pengertian. Sontak aku menolak. Sudah terlalu banyak yang ku repotkan. Aku tidak ingin merepotkan lebih lagi.
"Aku akan berusaha. Aku baik-baik saja selain luka-luka ini." Aku berusaha berdiri. Fani segera menyanggah tanganku ke bahunya.
"Sini ku bantu, Lin."
"Terima kasih Fan."
Fani membalas dengan senyuman ramah. Kami keluar dan melihat semua sudah duduk melingkar ditengah abu api unggun. Juna melirik kedatangan kami dalam diam. Sekilas matanya menatap mataku lalu menunduk ke arah kakiku yang diperban. Dan menatap ke depan dengan kernyitan di dahinya.
"Baik, sepertinya semuanya sudah kumpul. Kau masih bisa berjalan kan, Lin?" Tanya Aksa.
***
23 April 2021
Vote dan komen yaaa 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagai Bunian Merindukan Bulan [End]
Paranormal"Aku menunggumu. Untuk ratusan purnama. Mengambil apa yang menjadi milikku. Duhai kasih, tempatmu pulang hanya padaku." --- Awang Rajendra Candrakhumara "Tolong, pergi. Kenapa kalian terlihat rumit?" --- Lina Bulan. "Bulan, tempatmu berakhir padaku...