Mimpi Kita

3.1K 557 50
                                    

"Delia!"

"Tan!"

Hampir di waktu bersamaan aku dan Tanding saling memanggil nama, membuat kami berakhir dengan terkekeh geli.

Suasana rintik hujan di sore hari dan menikmati secangkir teh untukku dan kopi untuknya membuatku larut dalam kenangan masalalu. Kenangan di mana aku akan selalu menunggu Tanding pesiar di cafe tidak jauh dari Akmil, menjemputnya dan menjadi sopirnya untuk berjalan-jalan menghabiskan waktu bebasnya yang singkat.

Aaahhh, sungguh kenangan yang indah. Siapa saja tidak akan menyangka, pertemuan di pagi hari di GOR Olahraga saat jogging tidak jauh dari rumah temanku kuliah membawa kisah manis di antara kami, berkenalan, saling berbicara, mengenal satu sama lain, hingga akhirnya yakin, jika kami akan sejalan untuk bersama.

Sesederhana itu kisahku dengan Tanding Mikail, seorang yang terkenal angkuh terhadap wanita, terang-terangan akan mengacuhkan mereka saat para wanita menatapnya dengan memuja, justru berakhir menyatakan cinta pada seorang mahasiswa sederhana sepertiku, yang sama sekali tidak menonjol di antara para wanita di sekelilingnya.

Mencintainya itu sederhana, setiap perlakukannya padaku akan terasa istimewa, jalan-jalan menghabiskan malam saat pesiar, bertepuk tangan saat drumband GSCL tampil di Kirab Budaya sudah cukup membuatnya tersenyum lebar dan merentangkan bahunya untuk memelukku erat.

Pertemuan yang singkat, perkenalan yang cepat, tapi membuat kami saat itu yakin jika kami memang di takdirkan untuk bersama, aku kira seiring waktu rasa ini akan memudar begitu saja, tapi tahun demi tahun kami lalui, aku yang menempuh pendidikan, dia yang berjuang demi kehormatannya, saling bergandengan hanya melalui kebersamaan sederhana jauh dari kata mesra, rasa di antara kami semakin menguat setiap waktunya.

Hingga akhirnya di saat terakhir kami menyelesaikan semuanya, menjalani fase baru di dalam hidup kami setelah melakoni banyak ujian dengan tertatih, cobaan terbesar akhirnya datang juga, kesulitan yang tidak akan pernah aku bayangkan, jika saja pada akhirnya kami bertemu tapi tidak bisa bersama, mungkin seumur hidupku aku tidak akan pernah mau meraih tangannya untuk menjalin mimpi berdua.

Takdir mempertemukan kami, membuatkan skenario indah, dialog yang bahagia, tapi ending yang menyedihkan.

Lama Tanding menatapku, tatapan hangat dan penuh dambaan akan diriku, tatapan mata yang tidak pernah berubah sedikitpun. Tanding tidak berubah, tapi keadaan yang berubah.

"Kenapa mencariku tanpa menghubungiku lebih dahulu, Tan?" Tanding hanya terdiam, seolah memberikanku kesempatan untuk berbicara setelah aku memanggilnya. Aku pikir, tidak mungkin Tanding mencariku hanya untuk nostalgia masalalu seperti yang sekarang berkelebat di dalam memoriku berlarian tanpa ampun, menjebakku dalam kubangan hal indah indah yang kini menjadi kenangan.

"Kamu pernah memikirkan akhir kisah tentang kita?"

Mendengar pertanyaan dari Sang Letnan yang ada di depanku membuatku tersenyum, terlebih saat wajah tampan tersebut menatapku penuh keseriusan, sedari dulu aku menyukai wajahnya yang serius tersebut, dahinya yang mengernyit, dan matanya yang memicing tajam.

Menakutkan bagi orang lain, tapi justru memikat untukku. Arogan, dingin, dan tidak tersentuh. Tapi begitu hangat untuk diriku.

Tidak ada yang berubah darinya semenjak dia lulus dari Akmil, dia masih seorang Tanding dengan segala ekspresi yang tidak bisa aku lupakan sejauh apa pun jarak dan waktu pernah memisahkan aku dan dia, semuanya masih sama.

Bahkan mungkin hatiku juga yang masih bergetar hanya karena namaku yang di sebut olehnya. Tekadnya yang kuat untuk membuktikan padaku jika dia benar-benar prajurit sehebat Papa yang mampu berdiri dengan kakinya sendiri tanpa topangan nama Purnama yang berkibar megah sukses terukir begitu dalam di dalam hatiku.

Aku menyesap tehku perlahan, menikmati manis dan pahit serta aroma melati yang begitu menenangkan sebelum menjawab pertanyaan yang membuka lukaku.

Mataku menerawang jauh, membayangkan setiap kata yang terucap adalah hal yang akan terjadi di masa depan, meninggalkan sejenak kenyataan yang sangat tidak sejalan bahkan mustahil untuk di lakukan.

Aku pikir tidak ada salahnya menjawabnya sekarang, jawabanku tidak akan mengubah hal apa pun dari seorang yang besok sore akan menggelar acara pertungannya, dan beberapa waktu ke depan akan menikah.

Jawabanku dari pertanyaannya hanya akan menjadi sekelumit penggalan sajak impian yang tidak terwujud.

"Tentu saja aku pernah memikirkannya, Tan. Di saat kamu menjadi Letda aku pernah membayangkan, kamu akan melamarku, dan kita akan menikah di sebuah pernikahan indah di mana aku akan membuatnya seindah mungkin, kita akan hidup bahagia dengan anak-anak kita yang lucu, setiap sore aku akan menunggumu di teras rumah dinas kita, dan kamu akan pulang serta mengeluhkan betapa laparnya kamu."

Rasanya aku ingin menangis sekarang ini mengingat semua mimpi dan bayangan itu adalah hal yang tidak akan terjadi, laki-laki yang mengajarkanku akan indahnya cinta pertama akan bergandengan tangan dengan orang lain.

Tapi aku sadar sepenuhnya, menitikkan air mata sama saja dengan melukai hati wanita lainnya, wanita lain yang kini tersenyum sumringah menghampiriku dan Tanding.

Sekali pun hatiku hancur berkeping-keping sekarang ini, sekali pun hatiku harus berdarah untuk tetap bisa tersenyum, aku harus melakukannya.

"Dan semua bayangan indah itu akan terwujud di hidupmu, tapi tidak denganku. Sedari awal, ada kisah orang tua kita yang menjadi batu sandungan di hubungan kita, Tanding."

".............."

"Kamu dan Viona akan menjadi bintang utama dalam sebuah pernikahan indah yang akan aku rancang."

Kilatan luka terlihat di wajah Tanding saat melihatku memalingkan wajahku sebelum Viona datang menghampirinya, beberapa kali aku melihat kebersamaan mereka, tetap saja aku tidak terbiasa melihat kemesraan yang di berikan Viona pada Tanding.

"Percayalah, wedding dream yang akan kamu rancang, akan menjadi pernikahan paling indah yang pernah kamu lihat. Aku janji, Delia."

Sayangnya, wedding dream paling indah yang aku siapkan akan menjadi hari berkabung untuk hatiku yang benar-benar kandas.

Seolah tidak terjadi apapun aku kembali menatap pasangan yang ada di depanku, melihat betapa serasinya mereka secara visual, Viona yang mencium pipi Tanding mesra tampak begitu manja saat bergelayut di lengan kokoh milik Tanding, dan lihatlah saat Viona menatapku, tidak ada yang lain di matanya saar bersama Tanding selain kebahagiaan.

"Mas Tanding, benar-benar deh, siapin segala persiapan pertunangan sendirian. Kalau Mbak Delia nggak bilang, mungkin besok aku cuma bisa bengong nggak tahu apa-apa."

Tanding mengacak rambut panjang Viona pelan, tersenyum kecil melihat calon istrinya merajuk. "Kan aku sudah bilang, Vi. Pesta ini sengaja aku siapkan khusus penuh kejutan buat kamu, kamu adalah pilihan Mamaku, dan aku akan menunjukan pada Mama, betapa baiknya pilihan beliau."

Manis bukan kisah cinta yang akhirnya di akhiri dengan sebuah restu, tidak peduli bagaimana jalan bertemunya.

Seseorang yang mengenal lama akan kalah dengan orang yang datang di waktu dan persetujuan yang tepat.

Tidak ada yang bisa di lakukan kecuali belajar mengikhlaskan dan merelakan lebih keras.

Untuk beberapa saat aku menatap Viona dan Tanding, saling berbicara dan melempar senyuman tanpa memedulikan aku yang masih ada di antara mereka.

Hingga akhirnya sosok yang tidak pernah aku perkirakan akan menemuiku kesini, akan datang menjemputku.

"Delia, Ndan Adhitama memintaku untuk menjemputmu. Ada lamaran yang harus kamu hadiri."

DELIA, Complete On EbookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang