Cinta itu...

3.6K 630 70
                                    

"Sudah siap?"

Aku baru saja membuka pintu ruangan ini saat Ganesha yang tampak rapi dalam kemeja batik warna coklatnya berdiri di depan pintu, bertanya tanpa aba-aba saat aku berdiri di hadapannya.

Jika aku tidak terbiasa dengan suara tegas dan tiba-tiba dari prajurit Papa, mungkin aku bisa terjungkal ke belakang karena terkejut akan kehadirannya.

Aku mengangguk pelan, sudah mengira jika Ganesha akan menjadi sopirku lagi, aku nyaris beranjak pergi dari tempat ini saat suara hentakan heels yang terdengar di belakangku tidak ikut menyumbang suara.

"Jadi yang mau tunangan sama Mbak Delia itu Mas Ganesha?" aku bersedekap, membalas tatapan Viona yang bergantian menatapku dan Ganesha, berdecak penuh drama seolah dia begitu terkejut dengan apa yang di lihatnya.

Mulutku terkatup rapat, tidak ingin menjawab jika bukan Ganesha yang melamarku, aku ingin tahu sejauh mana cemoohannya padaku, selama tidak ada Tanding, sisi ular Viona akan keluar tanpa risih sedikit pun.

"Nggak nyangka, ya. Mas Ganesha doyan sama daging saudaranya sendiri, nggak bisa gitu Mas cari calon yang bukan mantan teman sendiri."

Kekeh geli terlihat di wajah Ganesha mendengar nada menyindir Viona, sungguh tawa yang membuat bulu kudukku meremang karena ngeri, "looh, kenapa kamu harus sewot, nggak suka ya mantan dari tunanganmu masih satu circle denganmu nantinya." ejekan tersungging di bibir Ganesha, seolah begitu menikmati wajah kesal Viona, "circle militer itu sempit, Viona. Jika Delia tidak berakhir bersama Tanding, seratus Pama akan berdiri di belakangnya, mengantri untuk di tunjuk oleh Mataharinya Adhitama ini."

"Bangga ya, Mbak Delia. Jadi rebutan karena Putri Papamu. Kalau bukan Adhitama, aku yakin nggak akan ada yang minat dengan perawan tua, sok agamis, dan sok kuat seperti kamu ini, Mbak."

Aku sedari tadi sama sekali tidak bereaksi, dan sesuai yang aku perkirakan, Viona tidak melepaskan kesempatan untuk mencemoohku. Entahlah, selain karena aku mempunyai ikatan dengan Tanding dulunya, apa aku pernah mempunyai kesalahan dengannya hingga dia sebenci ini denganku dan tanpa sungkan mengeluarkan banyak kalimat menyakitkan.

Aku menahan tangan Ganesha, menghentikannya yang sudah nyaris hilang kendali.

"Ayo, Nesh. Buang waktu di sini buat dengar omong kosong seperti ini."

Aku menarik tangan Ganesha, mengajaknya berlalu dari hadapan Viona dan Geri, sayangnya Ganesha sama sekali tidak bergeming, kilat kemarahan terlihat di wajahnya saat berbalik pada Viona.

"Siapapun tidak boleh menghina wanita dari saudaraku. Jangan besar kepala dulu, Viona Hartono. Banyak kejutan yang sudah di siapkan untuk pesta pertunanganmu ini."

Seringai mengerikan terlihat di wajah Ganesha, membuat Geri yang sedari tadi diam di belakang Viona merangsek maju, melindungi modelnya dari kengerian Ganesha.

"Tunggu dan persiapkan dirimu baik-baik."

Astaga, Ganesha.
Ganesha berbicara pada Viona, tapi seluruh kata yang dia ucapkan membuatku turut ketakutan. Di saat dia menarik tanganku untuk pergi dari lorong ini, aku nyaris saja kehilangan jantungku.

Selama perjalanan menuju tempat parkir pun, dia tidak hentinya mendumal.

"Mimpi apa harus punya urusan sama manusia mulutnya laknat kek setan."

"........"

"Lihat saja nanti. Aku bikin bangkrut juga dia."

"........"

"Awas saja kalau rencananya nggak sukses, dia yang bakal aku gantung di tiang bendera Kodam."

Siapapun yang mendengar Ganesha uring-uringan sekarang ini tidak akan berani membuka mulutnya bahkan untuk sekedar bertanya kalimatnya yang penuh teka-teki.

Sungguh aku seperti manekin yang di seretnya cepat, setengah terseok mengimbangi langkahnya yang cepat karena wedges yang aku pakai, nasib baik aku tidak nyusruk di jalan.

Hingga akhirnya saat kami sampai di parkiran, Mbak Eli dan Mas Zayn pun sama keheranannya melihat bagaimana Ganesha uring-uringan. "Kenapa wajahmu, Nesh. Keselek makan orang apa gimana?"

Pertanyaan dari Mbak Eli membuat Ganesha tersentak, setengahnya mendorongku menuju pada Kakak perempuanku ini, "baru ketemu setan laknat wujud manusia yang belum ketemu sama azabnya, Mbak Zayn."

Mbak Eli melongo, sementara Mas Zayn tergelak tidak karuan, yang paham dengan jokes kaku ya hanya orang kaku lainnya, lihatlah betapa gelinya Mas Zayn mendengar umpatan dari Ganesha.

"Acaranya dimana, sih?" tanyaku pada Mbak Eli, mengabaikan dua lelaki ini yang masih asyik dengan tawanya.

Mbak Eli tidak langsung menjawab, dia justru mengeluarkan pengikat mata hitam, dan sebuah earpod. Tanpa berkata-kata apapun, dia melepaskan jarum di hijabku, memakaikan earpod tersebut pada telingaku dan merapikan kembali hijabku.

Jika seperti ini, aku seperti terlempar pada masalalu, di mana Kakakku yang sering kali tersiksa karena selalu di bandingkan dengan diriku, tapi tidak pernah sedikit pun mengurangi rasa sayangnya padaku, Mbak Eli selalu menyisirku, dan mendandaniku dengan apik.

"Kamu nggak perlu tanya di mana tempatnya, yang jelas tempatnya adalah tempat paling indah yang kamu lihat."

Tanpa meminta persetujuan dariku, Mbak Eli memakaikan penutup mata padaku, membuat pandanganku gelap seketika.

"Tetaplah tenang, kami akan membawamu ke tempat kejutan itu berada. Siap untuk surprise-mu, Delia?"

Aku mengangguk, hanya bisa pasrah dengan apa yang di perbuat oleh Kakakku ini, seluruh tubuhku menegang, gugup dan bingung apa yang akan terjadi, kejutan apa yang telah di siapkan semua berkecamuk di dalam hatiku.

Suara musik yang di putar keras di telingaku membuatku tidak bisa mendengar apa-apa lagi yang di bicarakan orang-orang ini, sekarang aku seperti orang buta dan tuli, hanya bisa merasakan saat Mbak Eli menuntunku dan membimbingku masuk ke dalam mobil yang aku rasa milik Mas Zayn karena terlalu tinggi.

Suasana terang di parkiran langsung terasa gelap saat aku masuk ke dalamnya, dan tidak perlu waktu lama, mobil yang aku tumpangi ini bergerak, mulai berjalan meninggalkan restoran tempat Tanding akan bertunangan.

Di dalam kegelapan dan suara dentuman musik yang keras ini membuatku berpikir sejenak tentang Tanding, helaan nafas tidak bisa aku hindari lagi, lucu memang takdir mempermainkan kami, kami pernah memimpikan hari indah ini bersama-sama, membayangkan akan saling menyematkan cincin di jari kami satu sama lain, dan hari ini mimpi kami benar-benar terjadi, sayangnya walaupun kami akan bertunangan di hari yang sama, tapi kami tidak bisa bersama.

Aku bisa melihat dalam gelapku, sekarang ini para tamu akan mulai datang, beberapa rekan akrab dari orangtua Tanding dan orang tua Viona, juga teman-teman dari keduanya akan mulai berdatangan, memenuhi tempat indah yang sudah aku dekor, mereka pasti sedang bercengkerama hangat menanti prosesi inti acara lamaran secara resmi ini sembari melihat video cuplikan perjalanan cinta Tanding dan Viona.

Sungguh hal manis yang membuatku tidak bisa berhenti memikirkannya, pantas saja Viona tidak mau aku turun tangan mengurus acara ini hingga selesai, aku hanya akan menjadi serpihan masalalu yang melukai kebahagiaannya.

Aku tidak tahu berapa lama mobil ini berjalan, hingga akhirnya setelah waktu yang lama hingga aku mengira kami sudah sampai di utara Jakarta, atau justru di puncak Bogor, mobil ini akhirnya berhenti.

Dentuman keras dari earpod sama sekali tidak berhenti mengalun, mengikuti langkahku yang di bimbing oleh Mbak Eli, tidak bisa menebak di mana aku sekarang, dan siapa yang sudah melamarku dengan cara seribet ini.

Rasanya aku tidak sabar untuk bertemu dengannya, ingin segera mengumpatnya karena begitu penuh misteri dan bertele-tele, tapi saat suara musik di matikan oleh Mbak Eli, aku mendengar suara yang membuatku lupa akan segala kemarahanku.

"Sejak saya mengenal cinta, yang saya tahu cinta itu hanya Delia Adhitama."

DELIA, Complete On EbookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang