Lamaran Tanpa Identitas

3.3K 598 47
                                    

"Delia pulang!"

Panggilanku pada kedua orangtuaku di tengah ruang keluarga ini membuat mereka semua menoleh, semuanya lengkap, Papa, Mama, Mbak Eli, Mas Zayn, serta Om dan Tante Axel, mertua Mbak Eli.

Tatapan mata berkaca-kaca terlihat di wajah Mama saat menghampiriku, membuatku merasa bersalah pada beliau karena terlalu sibuk pada bisnis yang aku rintis hingga melupakan rumah sebagai tempat pulang.

"Delia!" panggilan Mama sebelum beliau memelukku membuat hatiku bergetar, perasaan hangat dan paling nyaman tidak bisa aku elak lagi saat Mama membawaku ke dalam pelukan beliau.

Aaah, aku benar-benar merasa pulang.

"Mama bikin Delia ngerasa buruk, Ma. Kayaknya Delia sudah berdosa banget kayak Bang Toyib nggak pulang-pulang." ucapku menghibur Mama, mengusap sudut air mata yang menggenang di wajah cantik beliau. Benar apa yang di katakan semua orang, setiap anak bisa tumbuh menjadi dewasa, tapi mereka tetap akan menjadi anak-anak untuk orang tua mereka.

Sebuah jeweran ringan kurasakan di telingaku, menarikku seperti saat aku kecil dulu, setiap kali aku bermain hingga lupa waktu, Mama akan menjemputku dengan cara seperti ini, sikap hangat dan keibuan beliau saat memelukku tadi langsung menguap seketika, berganti dengan Mama mode militer on yang mengerikan.

"Kayaknya Bang Toyib lebih baik dari kamu, Del. Kalau nggak Anggota Papamu yang nyeret kamu pulang sekarang ini, kamu nggak pulang, kan?"

Aku meringis, tidak berani lagi membuka bibirku ketika Mama sudah mengeluarkan tuntutan kesalahan sembari berkacak pinggang sekarang ini, tatapan penuh permohonan kini aku layangkan pada semua orang yang ada di ruang keluarga ini, meminta pertolongan pada mereka agar menyelamatkanku dari Ibunda Ratu yang akan menjabarkan setiap kesalahanku.

Papa boleh menjadi seorang besar di Militer, mempunyai karier gemilang hingga membuat Papa seperti Legenda, tapi saat di rumah, Mamalah yang memegang tampuk kekuasaan yang tertinggi, setiap kemarahan Mama adalah bencana satu rumah.

Papa tidak akan membuka suara beliau kecuali saat anak-anaknya benar-benar terpojok, dan setelah aku menciut mencicit seperti tikus yang ketahuan nyolong kacang, akhirnya Papa turun tangan.

"Mama, Delia baru datang. Bahkan Papa belum sempat di peluk Delia. Sudah Mama omelin. Yang ada Delia makin nggak mau pulang ke rumah." Papa membawaku ke dalam pelukan beliau, pelukan hangat yang begitu aku rindukan. Jika saja Papa tidak menggunakan jurus buta tulinya, mungkin Mama tidak akan berhenti untuk mengomeliku hingga beliau puas, dan itu akan memakan waktu semalaman.

Bukan hanya Papa yang memelukku, tapi Kakakku, Ibu dari dua orang anak kecil yang selalu menjadi favoritku kini juga memelukku, seorang yang aku kenal nyaris seumur hidupku, bahkan bisa di bilang, aku lebih mengenal Mbak Eli dari pada Mbak Eli sendiri. Serta prestasi terbesarku adalah menjadi mata-mata Mas Zayn untuk Mbak Eli.

"Mbak kangen sama kamu, Dek." Mbak Eli menangkup pipiku, menatapku dengan pandangan berkaca-kaca, selalu seperti ini tatapan Kakakku semenjak aku kandas dengan Tanding, seolah dia juga merasakan pedihnya berpisah karena ada batu sandungan dari masalalu orang tua kami.

Tapi di tatapan Mbak Eli kali ini bukan hanya tatapan penuh kesedihan, tapi binar penuh kelegaan dan secercah kebahagiaan, hal yang membuatku bertanya-tanya, apa yang sudah terjadi, benarkah yang di bilang Ganesha tadi? Jika ada yang datang pada keluargaku untuk melamarku?

Was-was takut akan jawaban yang aku dapatkan, aku bertanya pada Mbak Eli. "Nggak ada yang datang buat lamar aku kan, Mbak?"

Kekeh tawa geli terdengar dari semua orang yang ada di sini, menertawakan ekspresiku yang pasti seperti orang linglung, Mbak Eli tidak menjawab, tapi saat para ajudan orang tua ini di perintahkan membawa sesuatu dari dalam kamar tamu, aku benar-benar di buat syok hingga terduduk di tempat.

Beberapa hadiah lamaran yang lebih cocok menjadi seserahan saat pernikahan kini tertata di atas meja, semuanya lengkap, dan saat aku melihat satu kotak berisikan kain hijau yang amat familiar untuk anak Prajurit sepertiku, lengkap dengan sepatu dan tas hitamnya, aku benar-benar kehilangan kata.

Tentara mana yang tidak mengenalku dan berani melamarku.

Papa menghampiriku, seolah tidak melihat aku yang benar-benar syok beliau memperlihatkan sebuah cincin  padaku, cincin bermata hijau yang aku tahu sebagai cincin pengikat.

"Seseorang datang pada Papa sore tadi, di wakili oleh orangtuanya dia ingin menjadikanmu sebagai istrinya. Memintamu dari Papa dan ingin menjadikanmu sebagai pendamping hidupnya sebagai seorang Prajurit yang terhormat. Seorang yang akan menggantikan Papamu ini dalam menjaga dan membahagiakanmu. Seorang yang datang penuh tekad dan meyakinkan Papa jika Papa tidak perlu khawatir pada kebahagiaan Putri Bungsu Papa ini."

Lidahku terasa kelu mendengar setiap kata Papa yang sarat akan kebahagiaan, selama ini Papa tidak seperti Mama yang akan mendesakku untuk segera menikah, tapi aku tahu saat Papa tahu cerita tentang aku yang tidak bisa bersama dengan Tanding karena masalalu di antara beliau dan orang tua Tanding, beliaulah yang paling terluka.

Terkadang aku merutuk, menjadi putri seorang besar seperti Papa membuat beban kami menjadi bertambah, di saat aku dan Tanding berpisah, seluruh orang yang mendengar dan mempunyai bibir tidak hentinya membicarakan kami, mulai dari melontarkan simpati, hingga menggunjing sinis, tidak sedikit pula yang justru berkata tidak baik, hal yang pasti membuat Papa merasa bersalah padaku.

Aku mungkin tidak membuka bibirku sedikit pun pada Papa jika aku mempunyai sekelumit kisah masam tentang cintaku yang tidak berjalan mulus, tapi Papa sudah pasti mengetahui apa yang terjadi.

Tapi kini wajah sendu Papa sudah tidak terlihat, sama seperti seluruh orang yang melihatku dengan gembira, begitu juga dengan Papa sekarang ini.

"Siapa Papa?" cicitku pelan. Aku ingin tahu siapa yang sudah berani melamarku tanpa mengatakannya terlebih dahulu padaku, dan langsung menemui seluruh keluargaku.

Aku ingin tahu bagaimana rupa orang yang sudah berhasil meyakinkan Papa untuk menyerahkan tanggung jawab beliau, dan berhasil membuat seluruh orang yang biasanya menatapku prihatin kini terlihat gembira.

Papa mengusap ujung hijabku perlahan, seolah mengucapkan betapa sayangnya beliau padaku.

"Dia akan datang memakaikan cincin tadi besok, Delia. Kedua orangtuanya sudah datang untuk melamarmu, dan besok dia akan datang untuk mengikatmu. Kamu mengenalnya dengan baik, bukan hanya sosok pemimpin prajurit yang hebat dalam memimpin anggotanya, tapi dia juga berhasil meyakinkan Papa tentang cintanya hingga bisa mengikatmu."

Besok?
Lamaran secara resmi?
Pemimpin Prajurit?
Syarat dari Papa?

Astaga Tuhan, kejutan apa lagi yang Engkau siapkan untukku?
Ternyata besok aku tidak hanya menyiapkan hati untuk lamaran Tanding dan Viona, aku juga harus mempersiapkan nyawa untuk lamaran tanpa identitas ini.

❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤

DELIA, Complete On EbookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang