MARIO
Semua berjalan sebagaimana seharusnya. Bisnisku. Perusahaanku. Keluargaku. Dan, Velynn...
Dia tak pernah muncul lagi setelah empat tahun berselang. Tanpa kabar darinya. Dan duniaku kembali menjadi hitam-putih kembali. Untunglah kepalaku masih berambut dan tidak botak, kalau tidak, mungkin aku harus mulai mempertimbangkan membuka sebuah acara talkshow di televisi.
Tahun-tahun berlalu tak terasa. Hanya usiaku yang terus berubah menua, tapi perasaanku tetap sama. Aku masih menunggu, dan selalu akan menunggu. Sampai dia siap kembali ke pelukanku. Sampai aku bisa memproklamirkan diri sebagai pangerannya.
Aku melangkah turun dari mobil putihku. Melangkahkan kaki ke kediaman keluarga besar Geovanni. Di rumah Mama Papaku.
Begitu memasuki ruang tamu keluargaku, ruangan pertama yang kutemui di rumah ini begitu melangkahkan kaki, keriuhan keluarga besar Kak Kareen segera menyapaku.
Keriuhan apalagi kalau bukan keriuhan yang diciptakan ketiga putranya.
Alfa, Bryan, dan Chris, seperti biasa, mempunyai cara-cara mereka sendiri dalam mengekspresikan dirinya. Di ruang tamu, aku segera menjumpai Mama dan Papa yang seperti biasa, duduk berdempetan seperti di dalam angkutan umum. Di sebelah Mama duduk Alfa yang sedari tadi sibuk berceloteh. Paling-paling menceritakan tentang gadis-gadis manis yang ia jumpai di SDnya.
Chris di sebelah Papa sambil menjelaskan tentang berbagai pengetahuan dan hasil penelitian otodidak yang ia lakukan sendiri. Papa tampak manggut-manggut, tapi aku yakin, tak ada satupun kata-kata Chris yang nyangkut di otaknya. Dalam keluarga besar kami, tak ada satupun yang dapat mengerti jalan dan pola pikir Christopher yang terlalu cerdas untuk anak seusianya.
Bryan duduk tenang di sebelah Evan, kakak iparku yang duduk berseberangan dari Papa dan Mama. Ketenangan dan kedewasaan tampak semakin matang pada dirinya. Keponakan kesayanganku.
"Hei, jagoan-jagoan kecil," sapaku sambil mendudukkan diri di sebelah Bryan.
Mereka bertiga menoleh padaku sebelum menghambur, menubrukku secara bersamaan.
"Uncle Io!"
"Hey, dudes. How are you, guys?" Aku mengacak puncak kepala mereka satu per satu.
"Great, Uncle. Oh ya, Uncle harus tau. Aku belum menceritakan tentang ini ke Uncle. Ada seorang anak baru di kelasku, wajahnya manis. Kira-kira bernilai tujuh koma lima. Selalu mengepang dua rambutnya. Tapi suatu hari aku tidak sengaja memergoki celana dalam yang ia kenakan karena roknya tak sengaja tersingkap saat bermain. Masa dia mengenakan celana dalam warna putih motif polkadot sih, Uncle. Nggak banget, kan? Aku lebih suka yang renda-- bla... bla... bla..." celoteh Alfa yang hanya mampu kucerna di kalimat pertamanya saja.
"Oh ya?" responku berusaha tampak berminat.
"Uncle, aku mencoba merakit sendiri sebuah mesin uap, menggunakan teori yang pernah diterapkan James Watt, tapi sepertinya kurang berhasil. Aku curiga kesalahan terletak pada dayanya. Aku berpikir kalau mungkin lebih baik menggunakan sumber daya tenaga dari solar panel untuk menggerakannya, tapi cuaca yang tak bisa diprediksi menjadi kendala. Bla... bla... bla..." Dan ya, aku semakin tidak mengerti dengan apa yang diucapkan keponakanku yang jenius ini.
Aku hanya menanggapinya dengan senyuman dan anggukan seakan-akan aku mengerti mengenai penelitian dan sains yang menjadi minatnya.
"Uncle akan berapa lama di kota ini?" tanya Bryan. Mungkin hanya pertanyaan inilah yang bisa kujawab.
"Lusa Uncle akan bertolak ke Bandung untuk seminggu. Mengunjungi universitas tempat Uncle akan menawarkan lowongan pekerjaan," jawabku sabar. Bryan manggut-manggut mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Prince
Romance*second sequel of 27 to 20* Patah hati ditinggal menikah oleh gadis masa kecilnya yang sangat ia cintai, Mario Stevan Geovanni menjadi sosok yang lebih dingin dari sosoknya yang sudah dingin sebelumnya. Pria Adonis yang serba perfeksionis itu melimp...