MARIO
Pukul satu siang. Waktunya makan setelah sepanjang hari yang sibuk. Walau secara jujur, aku malas untuk meninggalkan kemesraanku dengan setumpuk dokumen penting di mejaku, tapi bagaimanapun tubuhku juga butuh asupan energi, bukan?
Suara dering telepon mengurungkan niatku. Panggilan dari sekretarisku, Mita.
"Pak, gadis barbar yang kemarin datang lagi. Dia bilang, Bapak yang mengundangnya kemari," ujar Mita di ujung telepon.
"Suruh dia masuk," instruksiku singkat.
Akhirnya gadis aneh itu menampakkan batang hidungnya juga. Ya, walau sebenarnya aku lupa pada agendaku hari ini untuk bertemu dengannya tadi. Untunglah aku belum keluar dari kantor.
"Kakak Pangeran," sapanya ceria begitu menampakkan wajahnya dari balik pintu ruanganku.
Ia bahkan masih memakai baju seragam putih-abu-abunya dengan bau matahari yang pekat bercampur sesuatu yang khas dari tubuhnya --seperti bau citrus yang berpadu dengan vanilla mungkin?-- yang segera menguasai ruangan pada detik ia melangkahkan kaki ke ruanganku. Rambutnya acak-acakan dengan model ekor kuda yang tak sempurna dan beberapa helai rambut yang menjuntai lolos dari ikatannya.
Di belakangnya tampak wajah Mita yang menampakkan ekspresi tidak suka yang cukup kentara sambil setengah bersungut-sungut ketika membukakan pintu untuk Velynn.
"Liat apa yang kubilang, Tante. Kak Mario mau ketemu sama aku, kan? Wee..." ujarnya sambil menjulurkan lidah dengan nada mengejek ke arah Mita yang makin kesal dengan tingkahnya. Lucu.
"Saya permisi dulu, Pak" potong Mita akhirnya sambil menahan kekesalan yang tampak jelas di wajahnya.
"Silahkan duduk," aku mempersilahkannya untuk duduk di kursi di hadapanku. Ia menurut.
Aku menyerahkan sebuah proposal kerja sama ke hadapannya yang langsung ia terima dengan kening berkerut.
"Bacalah. Ini kontrak kerja sama antara kamu dan perusahaan kami," jelasku datar.
"Jadi, naskahku akan diterbitkan, Kak?" selanya dengan senyum penuh di wajah mungilnya.
Aku mengangguk.
"Tapi mungkin perlu beberapa perbaikan. Perlu beberapa penambahan untuk membuat ceritanya semakin berisi. Nanti kami akan menugaskan seorang editor untuk membantumu," jelasku.
Ia tiba-tiba menggeleng mantap.
"Aku mau bekerja sama dengan satu syarat," ujarnya dengan senyum Monalisa, misterius.
Aku mengangkat sebelah alisku, menagih kelanjutan ucapannya. Ya, aku sudah menyiapkan diri kalau-kalau syarat yang akan ia ajukan itu berhubungan dengan besar royalti yang akan ia terima nantinya atau daerah pemasaran bukunya. Hasil karyanya memang pantas untuk pengajuan syarat semacam itu.
"Kak Mario yang menjadi editorku. Kalau bukan Kakak yang menjadi editorku, aku nggak bakal mau menyetujui kontrak ini."
Apa? Syarat macam apa itu?
Aku menatapnya tak percaya yang disambut senyum lebarnya.
Berbagai kemungkinan dan pertimbangan segera mampir di otakku. Pertimbangan bisnis tentu saja. Kalau aku menyetujui syaratnya, aku punya firasat bahwa hidupku tidak akan setenang sebelumnya lagi. Aku punya firasat kalau gadis ini pasti akan merepotkan nantinya. Tapi kalau aku tidak menyetujuinya, aku akan kehilangan peluang bisnis yang sangat potensial ini...
"Deal," aku menyetujui pada akhirnya. Sisi pebisnis dalam dirikulah yang menang. Akan kupikirkan cara meng-handle gadis kecil ini nantinya. Bukankah aku bisa meng-handle tiga keponakan laki-laki plus satu keponakan perempuanku dengan baik? Tambahan seorang anak kecil lainnya tidak akan berarti apa-apa. Mengabaikan anak kecil ini bertubuh layaknya seorang wanita dewasa, tentu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Prince
Romansa*second sequel of 27 to 20* Patah hati ditinggal menikah oleh gadis masa kecilnya yang sangat ia cintai, Mario Stevan Geovanni menjadi sosok yang lebih dingin dari sosoknya yang sudah dingin sebelumnya. Pria Adonis yang serba perfeksionis itu melimp...