Prolog

155 19 3
                                    

"Sesek, Ann," lirihnya sambil memegang dadanya yang terasa sesak berdenyut nyeri.

"Kayaknya aku—"

"Jangan ngomong kayak gitu! Kamu pasti sembuh!" potongnya cepat.

"Kamu cuman harus minum obat, Esta," lanjutnya sambil mencari di mana letak obat milik Athair.

"Sial! Kenapa bisa habis!" umpatnya.

"Ann," panggil Athair.

"Kamu diam aja. Aku mau beli obat," jawab Ann tak mempedulikan panggilan dari Athair.

"Tapi aku ngantuk," lirih Athair.

"Nggak boleh! Sebelum aku bawain kamu obat, kamu nggak boleh tutup mata, Esta!" ujarnya dengan nada tinggi. Air matanya sudah tak bisa ia bendung.

"Ann—"

"Nggak boleh! Kamu tunggu di sini. Jangan tutup mata, sebelum aku beliin kamu obat," potong Ann cepat.

"Kalau kamu tutup mata, aku akan membenci kamu, Esta!" lanjutnya sebelum pergi meninggalkan Athair yang kini menekan dadanya yang sesak.

Ann menjalankan motor miliknya dengan kecepatan tinggi. Ia mengusap air matanya kasar. Gadis itu tak peduli jika beberapa orang mulai memakinya dengan kasar karena menjalan motor secara ugal-ugalan.

"Esta, tungguin gue, ya. Gue bakalan beli obat buat lo."

"Esta, gue bakalan benci lo, kalau lo berani ninggalin gue."

"Pake motor yang bener, dong!"

"Ini nyawa bukan uang yang bisa dicari, goblok!"

Ann tidak peduli dengan segala umpatan para pejalan kaki. Yang dipikirkan saat ini adalah Athair. Dia sedang berjuang antara hidup dan mati.

"Lo nggak boleh ninggalin gue, Semesta Athair!" desis Ann terus menjalankan motornya di atas rata-rata.

Cit!

Ann mengerem motornya mendadak.

"Maaf, bisa turun sebentar?"

"Boleh nggak nanti aja, Pak polisi. Saya lagi buru-buru! Temen saya butuh obat!" Ann menyatukan kedua tangannya memohon kepada polisi untuk mengizinkannya segera pergi.

"Kamu tahu apa kesalahan kamu?"

"Iya saya tahu. Saya nggak pakai helm," jawab Ann dengan suara memelas.

"Tapi Pak, saya mohon kali ini saja, ya. Biarkan saya pergi," lanjutnya dengan nada memohon.

Apapun Ann akan lakukan termasuk bersujud di kaki polisi di depannya. Ayolah, ia tidak punya waktu. Ada Athair yang tengah berjuang antara hidup dan mati.

"Bukan cuma itu kamu juga menjalankan motor secara ugal-ugalan. Kamu tahu itu bisa membahayakan keselamatan orang-orang termasuk kamu!" ujarnya dengan nada tegas.

"Appa!" teriak Ann pada ayahnya. Ya, ayahnya adalah seorang polisi.

"Appa tahu, Esta lagi butuh obat! Penyakit dia kambuh!" lanjutnya dengan nada frustrasi.

Di satu sisi ia sangat mencintai profesinya sebagai abdi negara, ia terkenal dengan sifat tegas dan setianya pada peraturan negara. Terkenal tak pernah mencampur adukan masalah pribadi dengan perkerjaannya.

Ia dilanda kebingungan sekarang. Antara urusan pribadi atau profesinya?

"Maaf. Peraturan tetap peraturan," jawabnya tegas.  Tanpa mempedulikan raut wajah anaknya yang terlihat tak percaya.

"Motor kamu saya tilang," lanjutnya.

"Appa tega! Appa udah nggak sayang lagi sama, Esta?"  tanya Ann dengan berlinang air mata.

Namun, lelaki di depannya hanya diam bergeming.

"Oke, fine! Nih, bawa motor Ann, Appa." Gadis itu turun dari motornya, lalu memberikan kendaraan miliknya kepada sang ayah.

"TAPI PERLU APPA TAHU, MULAI DETIK INI, ANN BAKALAN BENCI APPA JIKA TERJADI SESUATU SAMA ATHAIR!" teriaknya sebelum pergi meninggalkan ayahnya yang terlihat menatapnya datar.

***
Di rumah sakit.

"Gimana keadaan Esta?" tanya Langit kepada anaknya.

"SEMUA SALAH APPA! KALAU SAJA APPA BIARIN AKU BELI OBAT TEPAT WAKTU, ESTA NGGAK MUNGKIN PERGI SEKARANG!"

"Maaf."

"MAAF NGGAK AKAN BALIKIN ESTA, APPA!"

***

"Maafkan Appa, Nak," gumamnya.

"Apakah kamu yakin?"

"Ya. Saya yakin. Demi anak saya," ujarnya sebelum melepaskan semua atribut polisi miliknya.

SEMESTA ATHAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang