ARK-DB

118 11 104
                                    

☀️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☀️

BUTUH BEBERAPA DETIK untuk menyadari di mana aku berada dan kenapa. Perlahan-lahan aku duduk, mengeratkan selimut, menengok ke balik jendela. Lega menyadari bahwa hujan di Predawn sudah berhenti. Akan tetapi hal itu tidak berlaku untuk badai pasir berpetir di Phili. Awan-awan merah perunggu masih bergulung-gulung dengan kilat di angkasa, bagaikan laut berikut dengan ombaknya. Sayang sekali bahwa aku tak lagi mampu mendengar suara guntur dari kilat itu.

Aku meregangkan tubuh, memalingkan wajah dari jendela, hanya untuk menyadari jikalau bagian sisi ranjangku yang lain kosong. Telapak tanganku menyapu permukaannya yang kusut, dingin. Mengindikasikan Coyote Pramudva sudah lama pergi. Aku mengerjap beberapa kali untuk mengusir rasa kecewa, menguap selagi membatin. Coyote Pramudva sudah pergi, sudah jelas takkan kembali dalam waktu dekat.

Tiada yang tersisa dari dirinya selain sebuah pesan singkat pada holo di atas meja nakas. Berpendar, berputar-putar dengan warna menyakitkan mata.

Phobos dan Deimos menyukaimu. Sudah tentu Io juga.
-Pram

Aku menghela napas, menyembunyikan wajah di antara lekukan lengan, terkekeh. Ungkapan aneh yang tidak cantik, yang artinya hanya dimengerti oleh Coyote Pramudva seorang. Tetapi, mungkin karena itulah aku menyukai pemuda itu. Coyote Pramudva berbeda dengan laki-laki Wondra yang lain. Bukan hanya tentang satu hal, tapi banyak.

Namun semua itu segera saja lenyap seiring ingatan akan wajah Clearesta yang memberenggut jijik di balik rasa sayangnya padaku.

Clearesta tak pernah berkomentar secara terang-terangan soal pekerjaanku, tapi aku tak bodoh. Aku melihat rasa muak itu setiap kali aku pulang, setiap kali aku datang padanya dengan bilur-bilur samar di leher, berikut dengan bau parfum yang lain daripada yang biasa aku kenakan. Aku tahu pasti apabila aku menceritakan soal Coyote Pramudva padanya--bukan berarti aku mau mencoba--Clearesta sudah tentu akan mengatakan hal serupa, seperti saat dia dulu memprasangkai Abe.

"Dia bersikap begitu semata-mata karena kau cantik!" wajah Clearesta mengkerut, dipenuhi kebencian yang ditujukan pada Abe, pada pria yang coba-coba dekat denganku. Ada juga secuil rasa iba di sana. Rasa yang ditujukan padaku, pada kebodohanku. Menjadikan kata-kata yang keluar dari bibir Clearesta kian menusuk, menohok--menyakitiku.

Itu adalah sumber pertengkaran kami yang pertama. Aku marah karena tahu pasti Clearesta iri denganku. Sementara Clearesta berang karena aku tersinggung akan ucapannya. Perseteruan kami bertahan kira-kira selama satu minggu lamanya, sebelum kemudian aku--walaupun agak terlambat--pada akhirnya mengerti bahwa bukan itu yang ingin Clearesta katakan padaku. Ucapannya memiliki lebih dari satu maksud. Salah satunya, Clearesta ingin aku berhati-hati, dia tidak mau aku bernasib serupa dengan Morillia atau gadis-gadis Engine malang lainnya.

Gadis-gadis yang berakhir patah dengan harapan palsu sepanjang hidup mereka.

Sekarang hal yang demikian terjadi lagi. Prasangka lainnya. Kali ini bukan karena seorang pemuda, melainkan karena jalan yang berniat Clearesta tempuh. Dia melakukan hal itu katanya demi masa depan yang lebih baik. Clearesta mungkin saja lihai menyembunyikan suara hatinya di hadapan orang lain, tapi tidak di depanku. Hanya dengan melihat mata serta gelagatnya yang sengaja dibuat-buat supaya kaku saja, aku segera tahu bahwasannya ada alasan lain di balik kata-kata itu. Dia mengira aku takkan menyadari hal tersebut.

The Path of Shadows [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang