Bagian 1

50 7 3
                                    

Menikmati secangkir ice americano di Uniquely sore ini adalah salah satu hal yang paling aku sukai untuk menghabiskan waktu weekend-ku, ditemani dengan telur gulung keju sambil mendengarkan music yang mengalun dari tap audio café ini. Biasanya aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk bengong atau mungkin sambil membaca novel yang baru saja aku beli. Tetapi sayangnya weekend kali ini harus sedikit berbeda dari minggu sebelumnya, alih-alih bengong atau membaca novel, sore ini aku harus menggarap laporan journal umum kantorku sambil terus terbayang-bayang muka galak mbak manager, fyuhhh.

"Elle"

Ketika tengah fokus menginput angka-angka dari bukti transaksi ke laptopku, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara baritone yang sepertinya memanggil namaku. Tidak ingin terlalu ker-geer-an aku mencoba acuh, tetapi di dunia ini tidak ada yang memanggil namaku dengan sebutan tersebut, kecuali Vernan -adik laki-lakiku dan , oh Ya Tuhan. Benarkah? Aku menepis prasangakaku cepat, apaan aku ini, Halu? Heishh kamu sudah berjanji untuk tak begitu lagi Gabrielle.

Sekali lagi suara itu terdengar semakin dekat,

"Elle," Katanya, sambil mengibaskan telapak tangannya didepanku.

Aku mengerjap beberapa kali demi memastikan ini adalah halusinasiku saja, tapi laki-laki itu tak hilang dari pandanganku. Sekali lagi, aku memejam lebih lama beberapa detik, sambil berdo'a dalam hati semoga ini benar halusinasi. Tapi bukankah ini sudah sembuh sejak setahun yang lalu?

Aku mencoba membuka mata, memastikan ini nyata atau tidak.

"Elle, apa kabar?"

Atmosfer di café ini seakan menghilang, bagaimana bisa seseorang yang selama tiga tahun ini ingin aku bunuh dalam pikiran dan hatiku muncul begitu saja tepat didepanku. Mengapa juga ia muncul saat aku dalam keadaan engga banget alias gue ngga dandan samsek cuyyy.

Sama seperti indra pernafasanku yang tiba-tiba enggan menghirup oksigsen, lidahku sama kelunya hanya untuk berucap, aku baik atau yang sebenarnya hatiku minta utarakan adalah aku sama sekali engga baik setelah kamu pergi tanpa kata pamit dan penjelasan.

Ya, yang aku bisa saat ini cuma senyum, tidak menjawab. Lalu setelahnya -mempersilahkan laki-laki itu duduk dikursi kosong dihadapanku, yang mana malah makin membuat perasaanku tak karuan antara mau marah atau senang. Demi mengurangi tremor yang tiba-tiba menyerang, aku menyecap ice americanoku lalu kembali menatap layar laptop meskipun saat ini pikiranku tak mengarah kesana. Belum ada perbincangan, kami sama-sama enggan membuka suara, canggung. Sampai akhirnya pesanannya sampai dimejaku,

"Matchalatte?"

Entah kenapa lidahku dengan entengnya berucap demikian, Gabriel lo bisa diem ngga. Tak henti-hentinya aku mecaci maki diriku sendiri.

Yang disebrang malah ketawa. Persis, mungkin sekarang aku benar-benar terlihat bodoh sama kayak dulu, ngga berubah. Kulihat matchalattenya sudah diminum, dan setelahnya menatapku dengan senyum manis. Hei, apa maksud?

"Iya. Engga pernah berubah kan?" Jawabnya, sambil menyecap minumannya lagi.

Aku kembali menunduk ke arah laptop, tidak ingin membuat kontak mata dan melihat senyum itu lagi, karena yang ada malah sia-sia usahaku selama ini dan nantinya akan menyakiti seseorang bukan.

Samar-samar kudengar helaan nafasnya begitu berat. Rasanya seperti tersesat dalam sebuah labirin rasaksa, menakutkan dan membingungan dalam waktu yang bersamaan. Buat apa sih dia menemuiku jika hanya untuk diam, apa sebenarnya yang ada dalam pikirannya. Aku mencoba untuk tetap tenang, menaham sesak sedari tadi.

"Elle?"

Merasa namaku dipanggil untuk ketiga kalinya, aku mendongak. Tatapku pas sekali tepat di kedua irisnya. Rasanya dunia berhenti berotasi, aku dapat merasakannya. Mata itu, tatap itu, seperti banyak sekali penyesalan dan kerinduan. Rasanya hatiku semakin sakit.

"Aku seneng bisa balik kesini terus ngga sengaja ketemu kamu"

Entah mengapa aku malah tertawa begitu hambar, aku masih enggan bersuara.

"Maaf karena aku terus-terusan pergi tanpa pamit sama kamu" Ucapnya masih menatapku dengan sendu.

"Kalau gitu kenapa kamu harus balik kesini? Kenapa harus nemuin aku juga? Harusnya pas liat aku kamu pura-pura aja ngga kenal."

Ya Tuhan, bukan ini yang mau aku ucapkan kalau bisa ketemu dia lagi.

"Aku balik cuma sebentar, El. Dan akhirnya aku bisa ketemu kamu, aku mau ajak kamu pergi besok bisa?"

"Aku ngga bisa. Ada deadline hari senin buat ngumpul laporan kantor" Jawabku sok ketus. Lagian aku tidak berbohongkan, pas sekali untuk menolak ajakannya.

Demi segera mengakhiri pertemuan yang tidak sengaja ini, aku memilih untuk bangkit lalu bergegas pergi. Enggak mau membuat kebetulan ini menjadi alasan gagalnya move on seorang Gabriella. Padahal ya memang benar, perasaanku sudah porak poranda sejak mata itu kembali menatapku.

Setelah membayar ice Americano dan telur gulung keju yang ku pesan tadi, aku langsung berlalu keluar tanpa menoleh kebelakang lagi, tidak akan.

_______________

Bersambung .....

Bagian pertama adalah dimana Elle bertemu kembali dengan seseorang yang membuat perasaanya muncul kembali ke permukaan setelah ia tenggelamkan begitu dalam.
Akankah Elle kembali tenggelam atau memilih untuk berenang ketepian sekarang?

See you next chapter;)

*****

Gabrielle // Elle

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Gabrielle // Elle

Gabrielle // Elle

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Arzieo // Jio

Uniquely Cafe

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Uniquely Cafe

Au RevoirWhere stories live. Discover now