Adisucipto tampak menyepi, seperti memahami bagaimana aku akan kehilangan lagi hari ini. Rasanya hatiku begitu sakit sampai sudah tak bisa menangis, mungkin airmataku sudah enggan berderai, sudah kering. Tak ada lagi air bening yang disisakan kelenjar air mataku.
Hari ini senin, aku sengaja izin untuk tidak kekantor dan melupakan deadline laporan yang seharusnya aku kumpul hari ini. Aku tau pasti mbak Dita managerku akan marah-marah besok waktu aku kembali ke kantor. Tapi aku tak peduli, aku hanya ingin mengantarkan kepergiannya kali ini.
Aku berdiri di pintu gate 8, melihat bagaimana tubuh itu akan terbang sebentar lagi, terbang menjauh dan meninggalkanku. Langkahku semakin memberat ketika sudah agak dekatnya, lidahku kembali kelu hanya untuk memanggil namanya, hatiku semakin ngilu dibuatnya ketika Jio menoleh ke belakang, lalu menyadari ektensiku. Ia tersenyum dan aku balas.
"Aku kira kamu engga bakal kesini" Jio berujar seraya menghampiriku, karena aku malah membeku ditempat.
Aku hanya tersenyum lalu mengangguk, entah untuk apa. Lalu seketika suasana mendadak sunyi, lebih tepatnya canggung, ditambah pengunjung bandara yang tak begitu ramai membuat jarak diantar kami sangat terlihat. Bukan, bukan jarak yang membuat tubuhku dan tubuh Jio berjuahan, tapi rasa didalam sana, entah mengapa pamit kali ini terasa sangat tidak biasa bagiku. Ya mungkin saja karena aku terlalu sering ditinggal tiba-tiba.
Ghremm ..... Aku menoleh saat mendapati Jio berdehem, aku tau itu demi mengakhiri keterdiaman kami. Ku lihat matanya mengedar ke penjuru bandara, lalu dia bertanya "Mau ngopi dulu engga? Aku berangkat sejam lagi"
Tanpa banyak pikir aku mengiyakan ajakannya, bukan hal yang salah kan. Aku berjalan dibelakang Jio, hah benarkah hari ini dia akan benar-benar pergi dan mungkin tak akan kembali lagi kesini, kepadaku. Kepada seseorang yang telah lama menunggu kepulangannya tapi tak ia indahkan apapun, hanya ia beri lara untuk kesekian kalinya. Pulangnya yang sedari awal didamba dan dituggu hanya malah menjadi luka yang entah kapan akan mengeringnya. Oasis yang mungkin ia tinggalkan sejak lama ia pijak kembali, dengan perasaan yang terlampau jauh sampai sampai aku tak dapat menggapainya lagi.
Aku dan Jio sampai pada café bandara yang sudah menjual Matchalatte, iya aku hafal betul soal yang satu itu. Duduk dikursi pojok adalah pilihan yang tepat untuk kami saat ini, aku harus bicara dan selesai sekarang juga. Aku mulai tersenyum canggung, bingung harus mengawalinya dari mana. Ku lihat Jio di depanku memperhatikan dengan saksama, kedua iris coklatnya tak lepas dariku, dan aku semakin gugup dibuatnya.
"Ji,"
Tak menjawab Jio hanya sedikit melebarkan matanya seakan menjadi tanda bahwa sedari tadi ia sudah menungguku bersuara. Ku raup banyak oksigen lalu ku embuskan cepat.
"Kamu kenapa?"
"Aku engga mau kamu pergi, aku sedih pas tahu kamu akan pindah ke Medan. Kenapa mendadak banget sih Ji?"
"Maafin aku, El"
"Jangan minta maaf, Ji. Aku kaget aja, padahal aku harusnya engga gini ya." Aku tersenyum tulus. Ku raih tangannya. "Pergi Ji. I am okay, kita udah selesai kok. Aku kesini mau nganterin kamu"
Hening menghampiri kami untuk kesekian kalinya, sampai akhirnya penerbangan ke Medan milik Jio bersiap untuk take off. Aku mengantar Jio menuju pintu gate, sekali lagi ia menatapku, dan aku harus mencoba untuk tersenyum. Waktu memang salah mempertemukan kita, dan mungkin ini memang sudah takdir terbaik untuk aku dan Jio. Aku menangguk, untuk yang terakhir kalinya ku rengkuh tubuh itu lagi, salam perpisahan. Dan air mataku luruh, meski terlalu sering menjumpai perpisahan, aku tak pernah terbiasa dengannya, terlalu menyakitkan.
"Aku bahagia buat kamu, ayo kita bahagia. Langgeng sama Eleya ya, treat her better more than I am. Nanti kalau udah tunangan jangan lupa kasih aku undangan, aku pasti dateng. Take care"
Ku usap air mataku, dan kini giliran Jio merengkuhku kembali. Aku lihat sendu matanya, menyakitkan. Ia hanya diam padahal bisa saja ini pertemuan terakhir kita. Ia melepasku, "Jaga kesehatan, Ell. Jangan kebanyakan minum americano ya." Aku mengangguk.
"Aku pergi."
Dan setelahnya aku lihat punggung Jio perlahan menjauhiku pergi dari kota ini. Aku tak menangis lagi, meski memang sangat menyakitkan, tapi aku yakin perpisahan ini memang sudah garis takdir terbaik yang telah Tuhan berikan kepada aku dan Jio. Terimakasih Jio untuk segala tanya yang akhirnya sudi kau jawab, Au Revoir.
SELESAI

YOU ARE READING
Au Revoir
Short StorySelama ini hanya aku yang menggenggam terlalu erat, hingga akhirnya aku sadar, aku kesakitan dan berdarah-darah. Terimakasih Jio, untuk kesempatan bertemu dan setiap kalimat penjelasanmu. Au Revoir. ft. Ten Lee cover pict by pinterest