Bagian 6

12 0 0
                                    

Langit Jogja memang tak pernah main-main perihal memamerkan senjanya yang terlihat begitu menawan diufuk barat, semburat orange kemerahan menjadi pemandangan yang dinantikan banyak pasang mata disini, Bukit Paralayang, satu dari banyak tempat di Yogyakarta yang memiliki sunset terbaik. Dan disampingku adalah Jio, laki-laki yang sukanya datang dan pergi seperti senja, bedanya hanya Jio ini pergi tanpa meninggalkan kesan yang indah padaku. Tidak seperti senja yang memberikan warna begitu elok kepada para penikmatnya sebelum ia habis ditelan malam.

Sore ini telingaku akan terbuka lebar untuk mendengarnya berucap, akan kupahami baik-baik setiap kalimatnya nanti. Sembari menunggu Jio membuka suara, ku tengok kesamping, kudapati sepasang irisnya yang ikut bersinar ketika memandangi senja, jelas sekali dipendar matanya, gelisah dan kebimbangan terpancar disana. Sebelum sampai sini tadi, aku sudah lebih dulu mengutarakan segala keluh kesahku kepadanya, tadi, saat fokusnya sibuk memperhatikan jalanan jogja—wonosari yang hari ini cukup ramai, padat dipenuhi kendaraan.

Saat Jio berkata akan menjawab segala pertanyaan yang mungkin selama ini mengangguku, aku tak ingin melewatkan kesempatan, keceritakan segalanya padanya, bagaimana kulalui tiga tahun tanpa dia, kuceritakan padanya, seberapa sering aku nangis, seberapa sering aku olahraga karena aku tau aku sakit, seberapa perihnya perut aku karena ngga nafsu makan, seberapa pusing kepalaku tiap malam, dan seberapa sering masalah dateng dan pergi, dan saat itu aku bingung harus gimana dan kemana, karena dia udah engga ada disana.

"El, inget engga pertama kali kita ketemu?"

Kalilmat tanya itu keluar dari bibir Jio, yang otomatis membuat memoriku berputar pada kejadian delapan tahun yang lalu. Tentu saja aku tidak akan pernah melupakan kejadian epic saat itu.

"Heh! Kamu yang pakai jedai warna ungu. Bisa diem enggak?"

Aku yang saat itu tengah asik haha hihi sama temen cewek kelasku langsung terperanjat, lalu ngefreeze. Gimana engga beku kalau saat itu aku masih bocah piyik kelas satu SMA.

Setelahnya Jio terkekeh, matanya masih fokus menatap senja yang semakin cantik berkolaborasi dengan tingginya gelombang air pantai Parangtritis.

"Berisik banget. Padahal waktu itu aku lagi mumet ngehafalin rumus buat ujian"

Aku tersenyum simpul. Masih enggan memberikan tanggapan, ku biarkan Jio bercerita sepuasnya sampai selesai.

Sebelum kembali berucap, kulihat Jio mencoba menarik nafas dalam, lalu ia embus cepat.

"Sadar engga sih, El? Kita itu dua orang yang dipertemukan diwaktu yang salah" Kalimatnya terdengar begitu sendu. "Andai Tuhan mempertemukan kita pas kita sama-sama udah dewasa, udah ngerti cinta yang sebenarnya. Maybe we cant toegether now?"

Lagi-lagi aku hanya membalasnya dengan senyuman.

"Maaf ya, El. Maaf karena dulu aku dateng sebagai cowok labil, yang akhirnya nyakitin kamu sampai sejauh ini. I did'nt mean like that, tapi aku emang pecundang karena selalu pergi semau aku"

Jio memutar tubuhnya jadi menghadapku, ia tatap mataku dalam. Sangat menyakitkan.

"Aku sayang sama kamu. Tapi waktu itu aku gengsi karena sukanya sama adek kelas, apalagi El, satu tathun setelah aku lulus, aku lihat kamu jalan bareng Mahendra. Aku engga suka El, aku engga terima. Jadi setelah itu aku mutusin buat main-main sama cewek, aku gamau aku yang sakit."

Bodoh. Ternyata itu alesan kamu bilang depan aku langsung kalau kamu pacaran sama kating kamu?

Aku ingin menangis rasanya. Tapi sebentar aku ingin menahanya, sebentar lagi.

"Waktu itu kita engga sekampus. Aku tau dari temen-temenku di UGM kalau kamu jadi primadona. Aku makin jengkel, terlebih setelah itu kamu engga pernah respon tiap aku chat. Contact whatsapp aku kamu hapus kan. Ya udah El, aku juga ngelakuin hal yang sama."

Au RevoirWhere stories live. Discover now