Bagian 7

15 1 0
                                    

Pukul 01.03 dini hari, aku masih belum terlelap, padahal kedua mataku sudah terasa berat karena tak berhenti menangis sejak pulang dari Bukit Paralayang. Masih terasa begitu nyeri ketika aku mengingat jika Jio datang padaku hanya untuk berpamitan sekali lagi.

Ketika matahari perlahan mulai tenggelam dan semburat senja kian memudar, Jio kembali berucap lagi padaku sore tadi. Aku kira ceritanya akan berakhir sampai dia tidak mau melihatku bersedih kembali, nyatanya itu semua baru prolog dari banyak chapter.

Terlebih saat ia berkata, "Tau engga El, dari banyaknya perempuan yang aku pacarin. Tidak ada satupun yang bikin aku jatuh cinta, excited nunggu balasan pesannya, dan deg-degan pas boncengin dia, ngga ada yang seperti pas aku sama kamu."

Aku tersenyum bangga dan penuh kemenangan saat itu, hingga akhirnya senyumku dibuat sirna seketika.

"Tapi suatu ketika, lima bulan aku di Medan. Aku ketemu seseorang yang anehnya mirip banget sama kamu. Dia bisa buat aku jatuh cinta, sama kayak delapan tahun lalu waktu aku jatuh cinta buat yang pertama kali, sama kamu."

"Oh ya?" Tanyaku masih mencoba untuk tersenyum.

Jio mengangguk, lalu tangannya sibuk menggeser-geser galeri dihandphonenya.

"Namanya, Eleya." Jio menyodorkan handphonenya padaku. Kulihat disana ada photo perempuan dengan rambut sebahu, sangat manis.

"Mirip kan sama kamu? Bahkan namanya aja sama, sama-sama El"

Aku lihat senyum Jio begitu bahagia saat mengucapkannya. Ada rasa nyeri dihatiku.

"Tapi El, kalau memang ada kesempatan buat aku untuk memulai lagi sama kamu. Aku akan coba buat mengakhiri sama dia."

Kamu mau ninggalin dia demi aku, Jio?

Jio, meskipun perasaanku padamu tak akan pernah berubah sejak pertama kali kita saling bertukar ballpoint, dan meski aku akan selalu merasa tersakiti ketika kamu punya pacar, aku tak pernah menginginkan kamu untuk meninggalkan seseorang yang bahkan dia jauh lebih baik daripada aku. Bukan itu yang aku mau Jio. Apalagi katamu dia adalah seseorang yang mampu membuatmu berdebar setelah sekian lama bukan?

Aku menghela nafas. Sebisa mungkin aku menahan air mata yang sudah menggenang dan siap jatuh ketika aku berkedip.

"Engga Jio." Lalu kucoba raih tanganya. Ku genggam begitu erat. "Kamu engga boleh kayak gitu terus. Kita sudah lama selesai meski tak sempat memulai, aku cukup lega denger semua dari mulut kamu. Meski cukup sulit buat aku nerima, tapi pada akhirnya aku udah dapet apa yang aku mau."

"Apa El?"

"Penjelasan dan alasan kamu."

Tes. Akhirnya air mataku jatuh juga, tepat ditangan Jio yang ku genggam. Aku menggit bibir bawahku untuk menahan isakanku. Aku tak ingin membuat Jio semakin merasa bersalah. Kupeluk Jio, kutumpahkan kelegaanku dan sedikit rasa sakitku padanya, aku menangis sore itu, lalu kami saling berdamai dan memaafkan.

____________

Saat tengah sibuk menangis. Aku mendengar suara ketukan pintu dan suara Vernan.

"Mbak aku masuk ya?"

Clek. Pintu terbuka lalu Vernan duduk disebelahku tanpa ku persilahkan.

"Udahan napa sih Mbak, nangisnya. Ya?"

"Lo kenapa ngga bilang ke Mbak sih kalau Jio mau pindah ke Medan?" Tanyaku setengah berteriak. Masih syok, sebab iya, Jio akan pindah ke Medan, kepulangannya ke Jogja hanya untuk mengurus dokumen-dokumen pindah. Aku mendengar kabar itu dari mulut Jio sendiri, saat sampai diparkiran uniquely untuk mengambil mobilku, tiba-tiba saja air mukanya yang semula sudah begitu terlihat nyaman setelah kami sama-sama bebicara, mendadak gelisah kembali. Karena sangat terlihat diwajahnya, aku mendahului sebelum ia berbicara.

"What's wrong, Jio?" tanyaku sebelum turun dari mobilnya. "Masih ada yang mau kamu sampaiin?"

Ia menangguk. "El, inget ngga kemarin aku bilang kalau aku engga akan lama disini?"

"Inget sih. Emang sisa berapa hari sih di sini?"

"Hari ini aja"

"Pendek juga cutinya. Sibuk banget nih manager"

"Mungkin ini terakhir aku ke Jogja deh, El."

Aku sempat kebingungan sebentar sebelum akhirnya Jio kembali berbicara. "Aku mau pindah ke Medan." Katanya.

Aku seperti kehilangan seluruh oksigen di bumi saat itu, salah denger engga sih El, kamu tu?

"Sulit bilang ini setelah ketemu kamu, El. Tapi lebih baik aku terus terang daripada aku ninggalin kamu lagi tanpa pamit."

Air mataku luruh saat itu juga, aku ingin coba senyum tapi tidak bisa, seperti aku sudah lelah untuk pura-pura selama ini. Ku biarkan isaku terdengar sampai ke gendang telinganya, sangat menyakitkan bukan. Aku rasakan genggamannya yang hangat, lalu ia bawa lagi aku ke pelukannya, yang mana membuat tangisku lebih terdengar semakin keras.

Apa memang sudah takdirku harus ditinggalkan berkali-kali?

Meski kali ini pamitnya dapat ku dengar jelas, tetap bukan ini yang ku mau. Meski memang raga dan hatinya sudah tak dapat ku miliki, tapi setidaknya aku masih ingin melihat senyumnya lagi dengan mata kepalaku. Aku sangat marah saat itu, aku turun dari mobil Jio dengan hati yang terluka juga perasaan yang carut marut, diriku dikuasai emosi. Sampai Jio diam-diam mengikutiku dari belakang, mungkin memastikan aku selamat sampai tujuan.

"Aku tuh ngasih Mbak Biel kesempatan buat ketemu mas Arzen loh. Bukannya itu yang selalu mbak minta?"

Aku mendengar embusan nafas Vernan, terdengar frustasi.

"Kalau aku bilang Mas Arzei mau pindah sebelum ketemu sama Mbak, kayaknya mbak bakalan kepalang ogah ketemu sama tuh orang. Ya kan?"

Diam-diam aku iyakan dalam hati. Aku pasti sudah kesal duluan karena dia beneran mau pergi dan mungkin nantinya tidak akan pernah kembali. Rasanya tadi sudah lega tapi kenapa sekarang sesesak ini sih? Kalau tadi nangis lega kenapa sekarang nangisnya kayak sakit banget. Jujur, mengikhlaskan tuh engga bisa langsung, butuh proses.

"Mbak, coba deh damai sama diri sendiri, sama masalalu, Mas Arzei juga engga sepenuhnya salah." Ujar Vernan padaku lalu merebahkan tubuhnya.

"Besok ke Bandara, ngomong deh apa yang mau lo omongin, marah-marah juga boleh terserah lo. Yang penting lo ngga nyesel nanti kalau dia dah ke pergi. Ya seenggaknya kali ini lo liat perginya dia, liat dia pamit."

Ah, adikku satu ini tumben sekali sih.

"Lo kenapa bisa ngomong gitu sih, pernah lo emang begini bocah?"

"Lah iya yak" habis itu malah ketawa dia, apa coba yang lucu.

"Dah ah, manut wae omonganku. Sesok tak terke"

Tapi aku masih mencoba berpikir, masalahnya apa aku bisa ?



Bersambung .................



*update nih, heheheheh 

Au RevoirWhere stories live. Discover now