2.6

705 105 9
                                    

Hmmm

Aku berdiri sambil melipat tanganku di depan dada. Melihat sepasang Ayah dan Anak di depanku saling tatap. Satu dengan tatapan kagum dan sedih? Sementara satunya dengan tatapan bingung dan seperti melihat orang aneh.

"Tunggu. Tunggu. Biar kalian selesaikan urusan kalian nanti. Yang terpenting sekarang adalah keluar dari hutan ini sebelum Lilya datang. Jangan lupa soal Naga tadi juga," ucapku panjang lebar. Hmph! Akan sangat langka untuk mendapati diriku, Celene, berbicara panjang lebar seperti ini.

Sepasang Ayah dan Anak tadi lalu menatapku dengan serempak. Hm. Entah kenapa rasanya aneh ditatap dengan dua wajah yang identik tapi berbeda usia...

"Naga? Serin, ada Naga di sini?" tanya Irin dengan mata berbinar.

Aku menatap Irin yang juga menatapku penuh harap.

"Ya. Dan Naganya tidak sebaik aku," jawabku.

Irin yang mendengar itu lalu menelengkan kepalanya.

"Berarti dia jahat?" ucapnya.

"Entah," jawabku singkat.

Aku lalu mengangkat Irin yang masih menelengkan kepalanya kebingungan dan mulai berjalan menuju arah Naga tadi. Hmph. Bersyukurlah kalau aku sudah familiar dengan auramu kau Naga sialan.

Daniel dan Ayahnya juga terpaksa mengekoriku, karena mereka tidak tahu arah.

"Hei hei, Serin, siapa orang ini?" tanya Daniel kepadaku di tengah jalan.

"Tanya sendiri sana. Hubungan kalian tidak ada hubungannya denganku," jawabku sambil sesekali menyingkirkan dahan dan ranting pohon serta semak-semak yang menghalangi jalan.

"Paman. Paman siapa?" tanya Daniel.

Aku lalu mengabaikan percakapan mereka demi memfokuskan perhatianku menuju aura milik Naga tadi.

Aku lalu melihat seekor kadal raksasa yang mempunyai sayap tergeletak di tengah-tengah padang rumput.

Ah? Sejak kapan dia pindah lokasi?

"Hei," ucapku sambil menendang ringan ekornya.

Naga itu lalu mengangkat kepalanya sambil menggerutu, "Siapa yang berani menendang ekorku yang perkasa?"

Dia lalu mematung setelah melihatku.

"Apa?" ucapku, "Irin. Dia terluka. Bisakah kau menyembuhkannya seperti yang kau lakukan padaku?" lanjutku sambil menurunkan Irin dari gendonganku.

Irin terdiam sebentar. Sepertinya dia sedang memproses ucapanku. Tak lama kemudian, dia mengangguk, lalu menyentuh badan Naga tadi.

"Tuan Naga. Tunggu sebentar. Sakitnya akan pergi setelah aku memakai sihirku. Oke?"

Woah. Lihat dia. Sudah berani berbicara dengan makhluk perkasa seperti Naga di depanku dengan tenang. Hm hm. Ajaran Lilya memang yang paling efektif.

Aku lalu menoleh ke belakang. Menatap sepasang Ayah dan Anak yang saling mencuri tatap satu sama lain. Terutama si Ayah. Wajahnya berseri-seri dan tersipu malu.

Apa-apaan? Hoi pak tua. Dari pada lucu, kau kelihatan menjijikkan.

Aku mengerutkan keningku dan dengan jelas menunjukkan ekspresi jijikku kepada penyihir yang mengaku Ayahnya Daniel itu.

.

.

.

.

.

.

Author's note : mulai sekarang, POV kembali menjadi POV Lilya. Tapi menggunakan subjek "Lilya" bukan lagi "Aku"

Lilya menghela nafas.

Apa-apaan. Kenapa bisa tiga keluarga terhormat dari tiga ras bisa menyerahkan anaknya begitu saja kepadaku? Pikirnya.

Lilya lalu menatap tiga orang anak kecil yang sedang berdiri sambil menatapnya dengan tatapan meremehkan, kagum, dan takut di depannya.

"Hahh...!" hela Lilya lagi.

"Bocah. Jangan meremehkanku atau kau kugantung di tengah-tengah kota," ucap Lilya kepada Elf muda di depannya yang menatapnya dengan remeh.

"Bocah. Kau tetaplah seperti itu," ucap Lilya kepada Dwarf muda di depannya yang menatapnya terkagum-kagum.

"...Bocah. Kenapa kau takut denganku?" ucap Lilya kepada Demon muda di depannya.

Demon muda tadi lalu menggeleng berkali-kali bagaikan kesurupan setelah di tanya Lilya seperti tadi.

Kenapa dengan dia? Pikir Lilya.

"Hngg..."

Ayo pulang, pikir Lilya.

"Bocah. Ikuti aku," ucap Lilya sambil berjalan menuju lingkaran teleportasi yang ada di samping meja resepsionis.

"Cepat atau kau kutinggalkan sendirian di sini," lanjutnya.

Lilya sudah lelah dengan omong kosong yang terjadi dengannya hari ini. Pertama, setelah dia menyelesaikan misinya, dia di sambut dengan seorang Elf yang arogannya melebihi Serin. Bahkan ucapannya tidak layak di sandingkan dengan Serin.

"Demon rendahan. Naga pelindung suku kami menyarankan untuk menitipkan anakku kepadamu."

Begitulah kira-kira kesimpulannya. Sebenarnya ucapannya lebih arogan dari itu. Tapi, karena Lilya mengabaikan sebagian besar ucapan kosongnya. Maka di ambil lah kesimpulan di atas.

Kedua, Adiknya, Ray. Dia tiba-tiba muncul sambil menurunkan seekor anak kecil dari gendongannya, menyerahkan sepucuk surat, lalu menghilang begitu saja. Meninggalkan Lilya berdiri seperti orang bodoh dengan dua orang bocah yang berdiri di depannya dan sepucuk surat di tangannya.

Dan terakhir, Seorang Dwarf datang ke arah mejanya saat dia dan dua bocah tadi sedang makan. Dia seenaknya duduk di samping Lilya, lalu dengan ceria menepuk-nepuk punggung Lilya.

"Nona! Kuserahkan Putriku kepadamu!" hanya itu yang dia ucapkan setelah menepuk-nepuk punggung Lilya sambil tertawa dan membicarakan omong kosong. Dia pergi setelah itu.

Lilya, sekali lagi. Duduk seperti orang bodoh, terdiam dengan sendok di tangan, setengah jalan memasuki mulutnya.

'Terkutuk kalian semua!!' batin Lilya sambil membuka pintu rumahnya, di ikuti dengan tiga bocah tadi yang mengekori nya.

"Hm? Bocah! Kau sudah pulang ternyata!" sambut Serin yang sudah berubah ke wujud kucingnya.

"...Kenapa ada tiga bocah tambahan di belakangmu?" ucapnya bingung.

Lilya yang energinya sudah terkuras, menatap Serin dengan mata ikan mati nya.

"Diam. Jangan berbicara denganku," ucap Lilya dengan suara pelan sambil melepas sepatunya dan berjalan ke dalam kamarnya. Sepenuhnya mengabaikan seorang Laki-laki yang sedang duduk di kursi tamu.

Bam!

Lilya menutup pintunya dengan kasar.

Serin hanya menatap Lilya dengan bingung. Lalu menatap tiga orang bocah di depannya.

"...Ada apa dengan situasi ini?" ucapnya.

.

.

.

.

.

.

Hai! Terima kasih telah membaca! ^^

Silahkan vote dan komen jika ada kesalahan! ^^

[DISCONTINUED] Lilya is Teaching 5 DiscipleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang