Prolog

752 62 28
                                    

♡Happy reading♡

●○●○●○●○

Ronald menatap Senara—anak semata wayangnya itu dengan tampang prustasi. Pasalnya sejak sejam yang lalu, ia menawarkan sang anak untuk memiliki bodyguard ketika di sekolah. Tetapi Senara menolaknya keras-keras.

Ternyata sang anak, sama keras kepalanya seperti almarhumah sang istri.

"Aku gak mau, Pa!" tegas Senara untuk keberkian kalinya.

Bagaimana dia bisa menerima? Jika sang papa ingin mengutus dua bodyguard sekaligus ketika di sekolah! Senara bukan anak kecil lagi. Dia sudah cukup dewasa untuk menjaga diri sendiri.

Sama seperti Nara yang bersikukuh untuk menolak, sang Papa juga tak mau kalah untuk memaksa sang anak. "Coba kamu pikir, kalau kamu di ganggu di sekolahan, siapa yang bakal nolongin? Papa trauma kejadian kamu sama kaya kejadian mama kamu waktu masih muda."

Biar Nara ceritakan sedikit. Jadi, dahulu ketika masa sekolah, sang mama cukup terkenal karena memiliki paras yang rupawan. Tak jarang ia mendapat pujian dari orang-orang. Namun karena kecantikan nya itu juga, dia sering di 'ganggu' oleh geng-geng tak bertanggung jawab di sekolahnya.

Atas alasan itu pula, Ronald tidak ingin Nara mendapatkan hal yang sama seperti istrinya. Karena Nara yang memiliki wajah sebelas duabelas dengan sang istri, membuat Ronald sedikit parno.

"Papa gak bakal ngerti. Aku bakalan malu kalau di ikuti penjaga kemana-mana. Yang ada aku bakal jadi bahan ejekan," ujar Nara.

Ronald meminum seteguk kopinya. Semenjak Rana—sang istri meninggal, dia selalu memanjakan Nara. Karena mereka yang tinggal berdua saja, Ronald tidak ingin kehilangan Nara seperti ia kehilangan istrinya.

"Papa ngerti."

Nara melakukan hal yang sama seperti sang papa, meneguk susunya hingga abis. Lalu membanting nya di atas meja. "Papa gak bakal ngerti!"

Mereka saling menatap penuh permusuhan. Ini hal yang biasa, dengan cara ini mereka bisa semakin dekat.

"Papa ngerti!" balas Ronald tak kalah sengit.

Beberapa detik mereka saling beradu tatap. Nara yang mencengkram gelas susunya, Ronald yang mencengkram gelas kopinya.

"Papa gak mungkin tau gimana malunya kemana-mana di jaga sama om-om yang bulu keteknya lebat." Nara menyipitkan matanya.

Ronald juga menyipitkan matanya. "Mereka gak punya bulu ketiak seperti yang kamu duga."

Nara mengabaikan itu. Ia berujar lagi, "Papa gak mungkin tau gimana rasanya kalau jalan diikuti sama om-om berbadan besar."

Ronald mengangguk-anggukan kepalanya. "Badan mereka gak besar seperti yang kamu kira."

Nara mendekatkan wajahnya kepada sang papa. "Lalu apa?"

"Mereka seumuran kamu." Ronald tersenyum miring.

Meski penasaran, Nara tidak mau kalah dari sang Papa. Untuk itu, ia mencari pembelaan yang lain. "Papa gak mungkin tau gimana rasanya bau badan om-om itu." Mungkin itu tepat.

Ronald mendekatkan wajahnya kepada sang anak. "Iya, papa gak tau." Ronald menatap Nara penasaran. "Gimana baunya?"

"Baunya kaya orang belum mandi," jawab Nara asal. Tak lupa ia tersenyum miring.

Meski penasaran juga bau seperti apa yang Nara maksud, Ronald juga tidak mau kalah dari sang anak. "Itu alasan kamu."

Bi Aya—asisten rumah tangga di sana, hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat pertengkaran ngawur antara bapak dan anak itu.

Nara memukul meja makan pelan. Ia melirik arlojinya sekilas. Belum sempat sang papa berbicara, Nara sudah menghampiri nya dan mencium pipinya. Lalu berlari dari hadapan Ronald dengan tawa yang menggema ke sepenjuru rumah.

Ronald berdecak. Dia kalah. Lantas ia berteriak, "Bodyguard kamu mulai bekerja hari ini sayang!"

Di teras rumah, Nara memilih untuk mengabaikannya. Sebelum naik ke mobil, ia menarik napas panjang.

Hari ini ... hari pertamanya sekolah di tahun pertama.

****

Jumat, 02-04-2020

Two ProtectorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang