Part 9 - Minta Maaf

121 77 8
                                    

"Cha, nanti kamu pulangnya naik taksi, ya. Mama harus pergi karena ada urusan," kata Bu Tari setelah mengangkat telepon.

Chantara membawa trolli yang berisi penuh belanjaan. Setiap hari minggu mereka selalu pergi ke mall untuk shopping. Mereka membeli semua yang diperlukan.

"Kebiasaan, deh."

"Nanti belanjaannya ditaruh di mobil aja. Kamu langsung pulang. Jangan main-main."

Chantara masih cemberut karena kesal. Setelah dari kasir, Chantara membantu Bu Tari meletakkan semua barang yang dibelinya ke dalam bagasi mobil.

"Oh, ya. Mama lupa beli obat P3K. Kamu bisa membelinya sayang."

Bu Tari memberikan sejumlah uang pada Chantara sebelum melajukan mobilnya. "Terima kasih, Sayang. Bye."

Chantara kembali masuk ke dalam mall dan membeli obat P3K. Setelah mendapatkannya, dia segera membayarnya dan pergi. Chantara pergi jalan kaki karena letak mall tidak jauh dari rumahnya. Dia menelusuri jalan yang lumayan ramai. Chantara memilih jalan yang sepi supaya cepat sampai rumah. Di gang sempit, dia melihat beberapa orang sedang berkelahi. Dia menyayangkan. Seharusnya dia tidak lewat jalan ini. Dia terkejut melihat salah satu orang itu adalah orang yang dikenalnya.

"Dirga."

Sontak seluruh pasang mata menatapnya. Dirga terkejut bukan kepalang melihat kehadiran Chantara. Dia mengacak rambut lebatnya.

"Sial," umpat Dirga.

Dirga memukul semua orang yang menyerangnya. Satu per satu berhasil Dirga kalahkan. Dirga segera berlari menghampiri Chantara. Dirga hendak mengajak Chantara untuk pergi, tapi seorang dari belakang Dirga mendorongnya hingga terjatuh menimpa kayu-kayu yang ada di samping tembok.

"Dirga."

Chantara semakin ketakutan. Juga cemas. Dia sangat memcemaskan keadaan Dirga. Dirga berdiri dan membantai satu per satu orang itu hingga tepar. Kemudian, Dirga menarik lengan Chantara yang masih histeris. Dirga mengajaknya berlari cukup jauh untuk menghindari orang-orang itu.

Dirga menghentikan langkahnya setelah sampai di tempat yang dirasa aman dan melihat mereka sudah tidak lagi mengejarnya. Dirga melepas genggamannya. Dia mengatur napasnya dan melihat Chantara yang terlihat cemas.

"Kenapa kamu masih di sini? Kamu bisa pulang naik taksi, kan? Kenapa harus lewat tempat sepi seperti ini? Saya tahu kamu bodoh, tapi setidaknya kamu bisa gunakan otak kamu untuk memikirkan hal sekecil ini."

Chantara masih diam. Membisu. Seakan jiwanya terguncang. "Baiklah. Jika kamu tidak ingin pergi. Saya akan pergi sendiri. Saya tidak mau mereka datang dan menangkap saya."

"Tunggu." Chantara melihat luka goresan di lengan kanan Dirga. "Lengan kamu terluka."

Dirga tidak menyadari kalau lengannya terluka. Chantara meminta Dirga duduk di bangku tepi jalan. Chantara mengambil obat yang dibelinya tadi. "Jangan pura-pura baik di depan saya. Saya tidak akan merengek hanya karena luka kecil ini. Kamu bisa pergi sekarang. Kehadiran kamu di sini hanya akan membuat saya semakin bermasalah. Jika kamu ingin selamat, pergilah. Tidak ada gunanya kamu tetap disini."

"Bisa diam tidak? Tidak ada yang bilang kamu bisu, jika kamu diam."

Chantara mengulang perkataan yang dulu pernah Dirga ucapkan. Chantara meneteskan antiseptik ke kapas, kemudian mengoleskannya pada luka Dirga. Dirga terlihat meringis kesakitan. Melihat hal itu, Chantara mengoleskannya secara perlahan dan meniupnya. Dirga menatap Chantara yang dengan penuh perhatian merawat lukanya. Dia terlihat tulus melakukannya.

"Sudah selesai." Chantara memasukkan kembali antiseptik itu ke kresek belanja. "Kamu bisa tetap di sini, jika kamu mau. Saya akan pergi."

Chantara tersenyum dan pergi. Tiba-tiba, Dirga menarik lengannya. Chantara berhenti dan berbalik menatap Dirga. Dirga berdiri seraya berkata, "Saya mau bicara sama kamu."

Chantara mengangguk dan mendengarkan. "Hari itu, saya sangat kacau. Saya mau kamu menjauh dari hidup saya. Tapi, kamu selalu mendekati saya dan berusaha menarik saya ke arah kamu. Saya tidak bermaksud berbicara kasar ke kamu. Saya juga tidak ingin menyakiti kamu. Saya hanya ingin kamu menjauh dari hidup saya karena itu akan lebih baik bagi kamu jika kamu melakukannya. Tapi, yang saya lakukan ke kamu itu tidak benar. Saya tahu kamu bermaksud baik pada saya. Saya tahu itu." Dirga menundukkan kepala dan menarik napas dalam-dalam. "Saya minta maaf."

Chantara melongo mendengar setiap kata yang keluar dari bibir Dirga yang dia rasa terlalu panjang untuk dia pahami satu per satu. "Itu berbicara atau berpidato? Panjang amat."

"Saya tidak akan mengulanginya."

Dirga menghentikan taksi yang lewat. Dirga membukakan pintu jok belakang, "Cepat masuk."

Chantara segera masuk ke dalam taksi itu. Dirga menutup pintu setelah Chantara masuk. Dirga memberikan sejumlah uang kepada sopir taksi dan berkata, "Pak, antar dia ke tempat tujuannya."

Dirga nyelonong pergi. "Dirga, terima kasih." Teriak Chantara dari dalam taksi. Dirga menatap Chantara sekilas sebelum pergi. Dirga tersenyum melihat tingkah Chantara.

"Pacarnya perhatian ya, Neng," kata sopir taksi.

Chantara terkejut, "Dia bukan pacar saya, Pak."

"Dulu istri saya juga bilang gitu. Cewek selalu malu buat ngakuin pacarnya. Tapi, kalau udah sayang. Sayangnya berlebihan. Nggak boleh ini. Nggak boleh itu. Susah buat mahami cewek mah."

"Merasakan kehadirannya saja sudah membuat hati tenang, Pak."

"Ih, si eneng. Bisa aja."

Selang beberapa menit kemudian, Chantara sampai di depan rumahnya. Dia keluar dari taksi. Sebelum dia pergi, dia berterima kasih kepada sopir taksi tersebut. Dia langsung masuk ke dalam rumahnya.

Pagi berganti siang. Siang berganti sore. Sore berganti malam. Seusai makan malam, Chantara masuk ke dalam kamarnya. Dia mengambil komik yang ada di meja belajarnya. Dia melihat ponselnya. Ada beberapa pesan dari grup chatingnya dan ada tiga pesan dari orang yang ada selalu ada di pikirannya selama beberapa jam yang lalu. Dia tidak mengira orang itu menyimpan nomor ponselnya. Dan sekarang dia mengirim kepadanya pesan singkat.

Unknow Number


Ini gue Dirga.


Kamu sudah sampai rumah, kan?


Jangan lupa besok latihan.

Chantara membaca pesan singkat itu sebelum membalasnya. Dia mengetik 'Iya, Dirga'. Seketika Chantara naik ke atas ranjang tempat tidur dan mulai melakukan tarian aneh. Sesekali dia melompat kegirangan. Entah kerasukan setan apa anak ini.

"Cha."

Sontak Chantara menghentikan tariannya dan melihat ke sumber suara. Melihat Bang Kasa berdiri di ambang pintu, Chantara pura-pura sedang membaca komik seraya membenarkan rambutnya yang berantakan.

"Lo ngapain joget-joget nggak jelas di atas kasur?"

Chantara memandang wajah Bang Kasa dengan kesal, "Sebelum masuk ketuk pintu dulu kek. Salam kek. Atau apalah. Jangan nyelonong masuk aja. Gimana kalau Chantara habis mandi atau lagi ganti pakaian? Bang Kasa tidak takut bintitan apa?"

Bang Kasa mengacak-acak rambut Chantara, "Abang sudah lihat seluk-beluk tubuh lo, adikku sayang."

"Ihhh..." Chantara hampir memukul Bang Kasa dengan buku komik yang dipegangnya. "Kenapa ke sini?"

"Abang mau pinjam laptop lo."

Chantara menaikkan dagunya. "Tuh, di meja."

Bang kasa mengambil laptop itu. Dia juga mengambil botol air mineral yang sudah kosong. Dia melempar botol itu ke muka Chantara dan meluncur tepat menyentuh dahinya. "Lanjut jogetannya, gih."

"Bang Kasa..."

Chantara melempar botol itu. Bukannya menyentuh Bang Kasa, botol itu malah menyentuh tembok dan memantul sebelum terjatuh ke lantai. Chantara pergi ke meja belajarnya. Dia membuka buku diary kesayangannya dan mulai memberikan coretan tangan di atas kertas putih. Dia menuliskan isi hatinya.



***



Extra part. Selamat membaca.

Like and comment, please.

Salam manis

SY Vanilla

CHANTARA : Jewel in The SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang