Part 11 - Kelahiran dan Kematian

15 2 0
                                    

“Ga, kemarin lo kenapa nggak datang?”

Dirga melirik Arthur, “Kenapa?”

“Ditanya malah balik nanya.” Arthur melempar handuk ke arah Dirga yang masih asyik membaca. Dirga mengembalikan handuk itu pada Arthur. Dengan kasar ia melemparnya. “Kemarin Chantara udah nyiapin kejutan ulang tahun buat lo.”

“Gue nggak tahu,” elak Dirga.

“Lo bukan nggak tahu. Lo nggak peduli. Berengsek.”

Dirga mendekati Arthur. “Benar. Gue nggak peduli.” Dirga memukul kepala Arthur. “Lo mau gue pukul. Hah?”

Arthur mundur beberapa langkah, kemudian maju lagi dengan membusungkan dada. Raut muka ketakutan masih terlihat jelas di wajahnya, tapi dia mencoba setenang mungkin. Dirga hanya bisa tertawa menyaksikan tingkah Arthur yang menurutnya selalu bisa menghiburnya. Sebelum ia kembali membaca buku. Arthur mendekati Dirga dan mengomel, “Gue benar-benar marah, ya. Berhenti sok di depan gue. Gue nggak takut sama lo. Kalo lo mau, lo bisa keluar dari rumah gue. Berengsek.”

Diam-diam Dirga merekam suara Arthur. “Lo mau gue kirim ini ke Megha?” Dirga memutar rekaman suara Arthur.

Arthur tampak gelagapan. Dia ingin mengambil ponsel Dirga, tapi keburu disimpannya. “Hapus, nggak?” Dirga menggeleng. Dia kembali membaca buku. Arthur menyerah. “Lo tahu, entah ini kebetulan atau bukan. Besok Chantara ulang tahun.” Dirga menatap wajah Arthur lekat-lekat. “Tanggal 20 Juni. Tepat meninggalnya ibumu. Dia tidak ingin merayakannya karena dia tidak ingin melukai hatimu.”

“Terus? Kenapa lo cerita ke gue?”

Arthur terlihat kesal dengan ucapan Dirga. “Lo emang, ya. Berengsek akut. Sia-sia gue cerita ini sama lo. Gue pikir lo akan simpati ke dia.”

Dirga terus terngiang-ngiang perkataan Arthur. Dia memikirkannya hingga tidak fokus pada buku yang dibacanya. Dia masih punya hati nurani yang tak ia tampakkan. Dia tidak pernah membenci Chantara. Baik dulu maupun sekarang. Baginya, Chantara tetaplah bulan yang akan selalu bersinar di dalam hatinya yang gelap dan kelam. Sikap kasarnya selama ini hanya untuk menutupi perasaannya yang sebenarnya.

Di lain tempat, Chantara duduk termenung menatap hamparan langit yang sangat luas dengan bulan yang mengisi. Bulan tidak akan pernah meninggalkan langit. Begitu pun Chantara yang tidak akan pernah meninggalkan Dirgantara sendiri. Biarpun kegelapan menyelimuti hati dan pikirannya. Chantara akan menjadi satu-satunya penerang hati dan pikirannya.

“Cha, ayo masuk. Waktunya tiup lilin.”

Bu Tari meminta Chantara masuk. Setiap tahunnya, keluarga kecil ini mengadakan pesta kecil untuk merayakan ulang tahun masing-masing anggota keluarga tanpa mengundang orang luar. Bu Tari sendiri yang akan membuat kue yang menyiapkan segalanya. Setelah semuanya siap, Bu Tari meminta Chantara untuk tiup lilin.

“Chantara berharap Papa, Mama, Bang Kasa selalu bahagia. Dan kita akan selalu jadi keluarga yang utuh.”

Chantara meniup lilin yang bertuliskan angka 16. Yups, Chantara berulang tahun yang ke-16. Enam belas tahun yang berlalu begitu cepat. Dengan segala suka dukanya. “Tiap tahun make a wish-nya itu mulu,” ejek Bang Kasa.

Chantara tersenyum kecut. “Happy birthday, Sayang,” ujar Pak Langgit dan Bu Tari berbarengan.

“Thanks, Pa, Ma.”

Bang Kasa mengoleskan krim roti ke wajah Chantara, “Happy birthday, My little moon.” Chantara membersihkan krim roti itu dari wajahnya dengan tangannya. Seraya berkata, “Thanks, my brother sky.”

Tepat jam 00.00 dini hari, Chantara menggelar pesta ulang tahun kecil-kecilan bersama keluarganya. Meskipun hatinya kalang kabut karena ulang tahunnya bertepatan dengan meninggalnya Bunda Mae, ibunda Dirga. Dia bingung. Dia sedang merayakan pesta kelahirannya atau pesta kematian ibunda sahabatnya. Ingin rasanya ia berhenti merayakannya. Dia tidak ingin merayakan hari kelahirannya karena dia tahu mungkin saat ini Dirga sedang bersedih atas kematian ibunya.

CHANTARA : Jewel in The SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang