18| Rainy

359 33 8
                                    

Hujan, titik-titik air yang berjatuhan dari udara. Sering membuat genangan, kadang juga membawa kenangan. Dan hujan selalu mampu menjadikan insan yang dibasahinya menjadi romantis.

Arena sudah berdiri hampir 1 jam untuk menunggu taksi atau angkot, namun tidak ada satupun yang lewat. mau pesan taksi onlinepun jaringan lagi tidak bersahabat. Arena menyesal menggunakan provider yang jaringannya tidak bisa menjangkau kesemua daerah, harga sih murah tapi kalo mati lampu sama hujan jaringannya ikut ilang.

Rumah Pak Madun memang agak jauh dari pusat kota. Sekitar 20 kilometer dari jalan raya. Hanya rumah Pak Madun yang berdiri kokoh di wilayah ini, disekitarnya hanyalah hutan belantara.

Arena mendongak menatap langit yang mulai gelap, tanda tanda bumi akan menangis.

"Halo"

"Kenapa?" ucap seseorang di seberang telpon

"Zidan, kamu lagi sibuk gak?" Cicit Arena pelan

"Tergantung"

"Kok tergantung?"

"Kalo lu minta aneh aneh gue sibuk"

"Boleh jemput aku gak? Disini gak ada angkot, mau pesan ojek online juga jaringan internet gak bisa. Aku lagi di jalan Cendrawasih. mau ya Zidan... Aku takut disini sepi banget"

"Bukan urusan gue"

"Zidan kok kamu tega sih sama aku? Tadi aja kamu bisa nganter Violet. Aku ini pacar kamu Zidan"

"Terserah gue mau jalan ama siapa aja"

"Ya udah deh kalo kamu gak mau, aku telfon Dewa aja"

Tut.

Arena mencari kontak Dewa lalu menelponnya, tapi yang Arena dapat hanyalah suara operator yang mengatakan bahwa nomer cowok itu sedang tidak aktif.

Arena menghembuskan napas berat, berjalan menyusuri jalanan tidak beraspal. Berharap diujung jalan nanti akan ada angkot atau ojek yang lewat. Zidan selalu saja tidak perduli tentangnya, kadang Arena merasa kalau perjuangannya sia-sia, merasa capek berjuang sendirian. Apakah Arena harus menyerah saja? Mungkin memang ia dan Zidan memang tidak ditakdirkan untuk memiliki rasa yang sama.

Arena menoleh ketika mendengar suara deruman motor mendekat.

"Zidan?"

"Cepat naik" dengusnya tanpa membuka helm face-nya

"Katanya kamu gak mau jemput aku"

"Gue cuma gak mau lu mati konyol disini, apalagi lu nelpon gue, nanti polisi bakal intregosi gue lagi" Arena menahan senyumnya. Meskipun alasan Zidan seperti itu tapi itu membuat hati Arena senang, setidaknya Zidan peduli sedikit terhadapnya. Meskipun hanya sedikittttttt sekaliiiii...

Arena naik ke motor besar itu dengan bantuan Zidan yang mengulurkan tangannya, jok motor Zidan yang agak tinggi membuat Arena agak oleng ketika menaikinya.

"Zidan makasih ya, aku senang banget kamu mau jemput aku, aku tadi ketakutan lewatin hutan, takut bakal ada genderuwo yang nyulik." curhatnya

"Cerewet" ujar Zidan pelan , tapi Arena masih bisa mendengarnya.

"Pegangan. Jangan geer dulu, gue mau ngebut soalnya lagi buru-buru, nanti lu jatuh gue lagi yang repot" Arena mengerucutkan bibirnya, lalu melingkarkan tangannya di pinggang dan meletakkah dagunya di bahu Zidan. Laki-laki tampan itu membawa motornya dengan kecepatan sedang.

"Zidan.. perut kamu keras ya" tangan Arena mulai aktif meraba raba sesuatu di balik kaus Zidan.

"Aw.. sakit" Zidan menggeplak tangan nakal Arena.

AYO JADIAN !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang