02 ~ Canggung

811 105 3
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Di sana, ada rasa yang pernah hilang lalu kembali.
Sekuat mungkin menghalau canggung bersama mendung.
Di sana, sebongkah canggung mulai terkikis.
Menyisa beberapa keping kenang manis untukku.
Antara canggung dan kenang, Aku berdiri di antaranya.
Sebab canggungku rupanya menyentuh relungnya.
Hingga senyum manis akhirnya terbingkai dan tak terlupa.
(Hanggara Syauqi)

🍂🍂🍂

Angga duduk di bangku teras kafe dengan rambut basah. Pakaiannya sudah berganti dan terlihat lebih rapi. Azan Subuh baru saja berkumandang. Dia berteriak memanggil kedua temannya untuk segera menyusul ke masjid di seberang kafe.

Di belakangnya, Bang Satya dan Rafka bahkan berebutan untuk menuruni tangga. Mereka masih terkikik mengingat kejadian beberapa saat yang lalu. Keduanya menemukan Angga tergeletak di lantai dengan sebagian kepala berlumur cat dinding.

Entah bagaimana kejadiannya, suasana yang tadinya hening berubah riuh. Bang Satya terbungkuk melihat wajah Angga. Sementara Rafka melipat bibirnya berusaha menahan tawa. Karena tidak tega, Rafka menyodorkan tangannnya dan membantu Angga untuk bangun.

Lelaki itu berdiri dan memeriksa bagian tubuhnya yang membentur lantai. Dia mencari biang keladi yang menyebabkan dirinya jatuh dengan tidak elit. Sebuah jejak dengan plastik yang tertetesi cat diduga menjadi penyebab Angga terpeleset hingga terjungkal.

"Sudah puas ketawanya? Bahagia bener lihat temennya jatuh!"

"Siapa suruh begadang kerja sendirian. Itu akibatnya kalau nggak nurut dibilangin, iya nggak, Bang?" Rafka menyikut perut Bang Satya dengan pelan.

"Yoi, kayak nggak ada besok aja. Lagian anak-anak yang lain juga bakal bantuin, Ga. Lo itu pemilik modal sudah sepantasnya nggak usah kerja berat."

Angga menghela napas dan menoleh kepada dua makhluk di belakanganya. "Nggak gitu konsepnya, Bang. Gue ngerintis ini bukan karena gue punya modal. Kafe ini atas nama kita berlima. Merintisnya bareng, kerjanya bareng, modalnya juga bareng. Gue juga mau modal tenaga, nggak hanya modal duit."

Suara iqomah membuat ketiganya berhenti dan bergegas memasuki masjid. Hingga salat Subuh berjamaah selesai, langit sudah mulai terang secara perlahan. Mereka kembali ke kafe setelah membeli ketan bubuk sebagai sarapan pagi.

Angga bergabung sesaat, tetapi dering ponselnya membuat lelaki itu beranjak dan pamit untuk pulang. Panggilan telepon dari sang ayah yang memintanya untuk sarapan pagi bersama. Angga hanya mengernyitkan kening ketika suara sang ayah yang terdengar.

Padahal, panggilan itu adalah nomer Ibu Ayu. Meski terdengar aneh, Angga bergegas menunggangi kuda besinya dan memilih untuk sampai di rumah segera mungkin.

"Asalamualaikum, Mas pulang!" ujar Angga setelah memarkirkan motor di garasi.

"Wa alaikum salam, Mas. Sini duduk, Ibu sudah bikin sarapan kesukaan kamu."

Eager Beaver ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang