12 ~ Melanggar

484 83 1
                                    

Aku masih berdiri di sini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku masih berdiri di sini.
Menantang setiap mata yang menyalang.
Tak peduli pada mereka yang mencemooh lalu membuang.
Apalah aku yang hanya dianggap seonggok daging.
Bak patung yang diberi nyawa, tetapi tiada berharga.
Terserah mau dikata apa, beginilah aku apa adanya!
(Hanggara Syauqi)

🍂🍂🍂

Menjadi anak tunggal dulu begitu menyenangkan. Menikmati seorang diri tanpa harus berbagi, tetapi semakin dewasa ada rasa kesepian yang melingkupi. Apalagi setelah sang ayah meninggal.

Semua terasa berat. Bila ada satu atau dua saudara kandung pastilah bisa diajak berbagi kesusahan. Berbagi duka kemudian membingkai tawa bersama. Katanya, anak tunggal itu enak. Karena apa-apa tidak harus berebut dan meminta keadilan.

Sebagai putra satu-satunya, Angga bukanlah seorang anak yang dengan mudah meminta berbagai fasilitas untuk kehidupannya. Dia masih berusaha dan mengumpulkan uang hasil pemberian nenek dan kakeknya, baik dari pihak ayah maupun ibu.

Begitu juga dengan berteman, orang tuanya mengajarkan untuk tidak pilah pilih teman. Terbuka dan saling membantu satu sama lain. Terbukti dari sekian banyak teman, hanya empat orang yang menjadi sangat dekat seperti saudara.

Sejak kepergian sang ayah, Ibu Ayu selaku orang tua tunggal menjadi lebih protektif. Meminta putranya untuk tidak pulang larut malam. Namun, selama beberapa pekan Angga justru pulang dini hati.

Puncaknya adalah hari ini. Sang ibu melarangnya pulang malam atau dini hari, Angga justru pulang pagi hari. Sang ibu sudah mondar-mandir di depan pintu rumah saat mendapati kamar Angga kosong.

Begitu sebuah motor berwarna biru memasuki halaman rumahnya. Ibu Ayu bergegas menghampiri. Angga belum sepenuhnya turun, tetapi sebuah pukulan sudah mendarat di punggungnya.

Angga mengaduh, sensai panas menjalar di punggungnya. "Kenapa dipukul, Bu? Mas baru aja pulang, loh!"

"Karena baru pulang makanya Ibu pukul."

"Harusnya disambut, Alhamdulillah anak kesayangan Ibu sudah pulang, gitu!"

"Sudah lupa sama yang Ibu bilang?"

Angga menggeleng. "Mas ingat! Ibu bilang jangan malam-malam kalau pulang. Emangnya Mas pulang malam?"

"Nggak pulang malam, tapi pulang pagi!" ujar Ibu Ayu sambil berlalu meninggalkan Angga.

Sesampainya di meja makan, Angga langsung duduk kemudian sebuah piring berisi nasi goreng dengan telur mata sapi tersaji di hadapannya. Menu yang makanan favorit keluarganya di pagi hari ini tampak begitu menggoda.

"Setelah ini mandi, langsung istirahat."

"Mas mau ke kafe, Bu. Ada yang mau ketemu sama Mas hari ini."

"Memangnya Satya, Rafka, Raden sama Hisyam nggak bisa gantikan kamu? Ibu khawatir sama kesehatan Mas kalau semua harus Mas sendiri yang ngatasi."

"Insya Allah Mas nggak apa-apa, Bu. Doakan yang baik-baik. Doanya seorang ibu itu wush ..., langsung nembus ke langit ketujuh. Nggak pakai acara nyangkut apalagi nunggu ACC dari yang lainnya."

Eager Beaver ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang