Aku dipaksa menerima.
Aku dipaksa untuk membuka mata.
Aku dipaksa untuk peduli.
Namun, adakah yang peduli pada hati yang remuk redam ini?
Adakah yang mau memeluk tanpa kata?
Sekadar menemani tanpa menghakimi.
Sekadar bercengkrama tanpa drama.
Sekadar duduk dan bernapas bersama.
(Hanggara Syauqi)🍂🍂🍂
Melepaskan, menerima, lalu mulai menata lagi setelah kehilangan bukanlah hal yang mudah. Setidaknya untuk waktu yang tidak bisa diperhitungkan, ada kalanya egois masih merasa menang. Mengandalkan perasaan terdalam lalu terjebak dalam kubang gelap.
Cukuplah bagi Angga menangis di hari kepergian sang ayah. Sebab saat terlihat oleh ibunya, wanita itu justru semakin tampak terluka. Angga merasa sangat bersalah hingga dia memilih untuk menyudahi dan menutupi kesedihannya saat bersama Ibu Ayu.
Sehari, dua hari, hingga seminggu masa berkabung, Angga masih disibukkan dengan menerima tamu yang datang untuk berbelasungkawa. Beberapa kerabat juga masih terus berdatangan.
Empat serangkai sahabat Angga juga tidak pernah absen menemani si tuan rumah. Tidak perlu menanyakan bagaimana rasanya kehilangan, sebab dengan melihat sorot mata saja sudah cukup menggambarkan bagaimana rasanya.
"Lo bawa Tante Ayu buat istirahat. Ini dah malem, biar gue sama yang lainnya beresin ruang tengah." Bang Satya mendorong Angga ke tangga supaya segera ke kamar.
Angga menurut, membawa Ibu Ayu dan membawa serta ibu dari Ayah Ahsya. Untuk beristirahat. Bagaimanapun rasa kehilangan itu dirasa oleh Angga, ada orang yang jauh lebih merasa kehilangan darinya.
Ibu Ayu yang sudah lebih dari separuh usianya berumah tangga dengan Ayah Ahsya, nenek yang sudah membesarkan sang ayah. Kedua orang itu lebih merasa kehilangan, sebab keduanya adalah belahan jiwa sang ayah.
Setelah memastikan dua wanita teristimewa sang ayah istirahat, Angga menuju kamarnya. Dia merebahkan tubuh di atas ranjang dan menatap pendar lampu di langit-langit kamar. Lelaki itu mendesah dan mengusap setetes cairan bening di ujung mata.
"Ga, boleh gue masuk?" Suara Rafka membuat Angga menegakkan tubuh dan menghapus sisa-sisa air matanya.
"Masuk aja."
Rafka langsung masuk dan duduk di lantai yang berlapis karpet. Hening, suasana canggung tiba-tiba saja menyeruak di antara keduanya. Tidak berlangsung lama, Angga justru melangkah ke luar kamar.
Merasa diabaikan, Rafka mengekori Angga hingga membawanya ke ruang makan.
"Uti, Mas mau itu juga," pinta Angga pada nenek dari pihak ibunya sambil menunjuk sepiring mie goreng instan yang baru saja dituang ke piring.
Wanita 70 tahun itu menyodorkan piring berisi mie dan menggusak kepala cucu kesayangannya. "Ini buat Mas, nanti Akung dibuatkan lagi. Rafka mau?"
Pertanyaan Uti membuat Angga menoleh dan terkejut saat melihat Rafka menampilkan jejeran gigi putihnya sambil mengangguk cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eager Beaver ✔
Ficción General"Kerja keras setengah mati, tapi hasilnya nggak dibawa mati! Kamu kerja apa dikerjain?" Karena hidup sebercanda itu, maka hiduplah meski menjadi bahan candaan. Bekerjalah seperti tiada hari esok bahkan sampai tetanggamu mengira tuyul menjadi pelihar...