Tacenda

364 36 1
                                    

Aku terbangun tatkala ada sesuatu yang melingkar di perutku. Lenganku seperti mati rasa dan kesemutan karena sejak tadi malam menjadi tumpuan kepala seseorang. Aku melirik pemuda yang dahinya menempel pada pipiku.

Aku mencium keningnya sekilas, "Pagi, Rey." Sapaku.

Reyvan sedikit terkejut, lalu menjauhkan kepalanya, "Eh. Pagi juga." Jawabnya tersenyum.

Sesaat aku teringat kejadian semalam, dimana aku membuat bibir merahnya menjadi bengkak. Kini sudah mendingan, walau aku melihat sebuah bercak merah di lehernya. Entah mengapa aku selalu meninggalkan jejak setelah mencumbu seseorang.

"Leher lo merah, Rey." Tunjukku.

"Lo juga ada."

Eh. Segera aku mengambil gawaiku yang kuletakan di sisi kasur, dan benar saja jika aku memiliki tanda tersebut.

"Kok?" Tanyaku bingung, karena seingatku ia tidak melakukannya juga semalam, tapi mengapa ada bercak juga di leherku.

Reyvan hanya tersenyum, lalu tertawa hingga gigi kelincinya terlihat.

Sial, dia jahil juga anaknya. Dia melakukannya disaat aku tengah tertidur.

"Lo diem-diem ya!" Selorohku bangkit dan menindihnya selayaknya orang sedang bercanda.

Reyvan semakin tertawa karena aku menggelitikinya. Saat itu juga aku melihat bekas ulahku yang sangat kontras dengan warna kulitnya. Beralih lagi, aku menatap mata sipitnya yang memancarkan ketenangan bagiku. Ia terlihat sangat berbeda ketika melepas kacamatanya, menurutku itu menjadi daya tarik tersendiri bagiku.

Lagi-lagi aku terpikat pada objek dibawah hidungnya yang membuatku candu, "Rey?"

Reyvan tak menjawab, ia hanya mengangkat kedua alisnya.

Tanpa pikir panjang, aku kembali menciumnya. Ini sudah ketiga-keempat atau kesekian kalinya dan rasanya masih sama.

Manis.

Otakku sudah tidak beres, aku sadar namun aku tidak bisa menghentikannya. Bahkan aku mengubah posisiku sehingga kini berada ditengah-tengah kakinya yang telah terbuka lebar. Tanganku beralih untuk menarik baju yang melekat pada tubuhnya. Sesaat ada sebuah keraguan di wajahnya, tangannya juga menahan pergelangan tangaku dibawah sana.

Aku mengangguk, "Enggak papa."

Reyvan terlihat pasrah saat aku berhasil membuka keseluruhan kain yang menutupi badannya. Aku terpana melihat tubuhnya yang sangat putih. Jujur saja, aku bisa mengatakan jika ia adalah orang paling putih yang pernah aku lihat badannya. Bahkan lebih putih dari mantan-mantanku yang perempuan.

Aku sempat berfikir jika Reyvan adalah seorang blasteran. Warna kulit dan wajahnya memang seperti orang luar negeri, namun ia menyangkalnya dengan mengatakan bahwa ia seratus persen orang sunda.

Aku mengeleng-gelengkan kepala karena begitu takjub dengan badannya, "Lo itu cewek apa cowok sih?"

"As you see." Jawabnya.

"Cowok sih, tapi kok putih banget."

Reyvan mengendikkan bahu, kemudian tangannya meraih bajuku.

Aku menahannya, "Kenapa?" Tanyaku.

"Lo juga buka dong." Jawabnya meminta keadilan.

Dengan cepat aku melepas kaosku, sehingga kini akupun telanjang dada. Reyvan mengerjap, menatap badanku dengan tatapan yang sulit kupahami. Tapi aku bisa merasa ada yang semakin mengeras dibawah sana. Aku bisa merasakannya karena barang tersebut sedari tadi bergesekan dengan milikku.

REY!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang