Neophyte

2.2K 114 14
                                    

Malam itu adalah malam minggu. Sudah menjadi rahasia umum jika malam minggu adalah malamnya para pemuda-pemudi di Indonesia untuk pergi berkencan. Entah sejak kapan kebiasaan ini dimulai, tapi nyatanya akan tetap berlanjut seiring berjalannya waktu.

Saat semua orang sedang pergi dengan pasangannya, ada juga yang masih bergelut dengan pekerjaannya. Mereka yang memilih lembur di kantor atau pabrik adalah salah satu contohnya. Dari yang sudah berkeluarga hingga para jomblo yang sekedar mengisi waktu temaramnya.

Aku berjalan menyusuri sebuah Mall berlantai tiga. Bangunannya memang tidak begitu tinggi, hanya memiliki tiga lantai namun luas dan bergaya kekinian. Bisa dibilang bahwa pusat berbelanjaan modern ini merupakan tempat termewah di daerahku.

Sampai saatnya aku berada di balkon yang penuhi oleh beberapa kedai kopi dan makanan fastfood ternama, berjalan menuju salah satu gerai asal Amerika dan memesan secangkir creamy latte beserta toast-nya untuk menemani malam kelabuku. Iya karena akupun single.

Masih dengan tangan yang memegang sebuah nampan, aku mengedarkan pandangan, mencari-cari spot yang nyaman untuk menyendiri. Setelah memutar satu kali dan kulihat semuanya penuh. Sekali lagi aku tidak beruntung, tidak ada meja yang kosong untuk aku tempati.

Aku berjalan lesu, berniat untuk masuk ke dalam ruangan gerai dan minum kopi disana. Tapi langkahku terhenti ketika aku melihat seseorang yang sedang duduk menyendiri di pojokkan, tak jauh dari tempatku berdiri saat ini.

Rasa penasaranku tiba-tiba muncul, sosok pemuda tersebut tidak begitu asing. Sepasang mataku masih menatapnya yang tengah mengisap rokok pabrikkan kota Kediri. Kepulan asap yang berasal dari bibirnya kini menyeruak ke udara, terbang bebas mengikuti sepoian angin.

Tak terasa kini aku berdiri dihadapannya. Jarak kami hanya berkisar dua meter saja. Lelaki itu masih menundukkan kepalanya. Dengan gerakan yang sedikit ragu, aku menepuk pelan bahu kokoh miliknya.

"Raka?" Sapaku pelan.

Pria berkemeja pendek warna biru tua itu mendongak, sedikit terkejut dengan kehadiranku yang berada disebelahnya. Mata hazelnya menatapku bingung, sebuah kerutan tercetak di dahinya yang disusul dengan alis rapinya mengangkat sebelah.

"Iya?" Jawabnya bingung.

Sial, kurasa ia lupa denganku.

Aku mencoba tersenyum, namun yang terjadi kemudian adalah sebuah senyuman canggung.

"Gue Devi." Kenalku disusul dengan juluran tangan.

Raut wajahnya seperti mengingat-ingat, tak lama sebuah senyuman tersungging di bibirnya.

"Eh Dev, apa kabar?" Raka berdiri, lalu menerima juluran tanganku. Ia juga mempersilahkanku untuk duduk di kursi sebelahnya.

"Baik, lo sendiri?"

"Baik juga kok."

Raka membuang putung rokok ke tong sampah yang posisinya tak jauh dari kami. Sekembalinya, ia kemudian duduk di tempat semula. Raka melihatku sekilas, sebuah senyuman yang dihiasi oleh lesung pipit di kedua pipinya kembali terukir.

Duh senyuman itu yang dulu menggetarkan hatiku.

Wajahnya hampir tidak ada perubahan. Hanya saja warna kulitnya tidak seterang dahulu, bibirnya sudah sedikit menghitam di beberapa sisi dan terdapat bekas sebuah cukuran pada kumis dan dagunya.

Saat ini, aku juga harus tetap mengakui jika laki-laki yang kini sedang duduk di depanku masih sama tampannya dengan beberapa tahun yang lalu saat terakhir kali kami bertemu di sebuah acara buka puasa bersama yang diselenggarakan oleh teman-teman sekolah menengah pertama.

REY!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang