Phase II

242 19 2
                                    

*Present*

"Woi, Ka!" Teriak Deka mengguncang bahuku.

Aku mendongak, bertanya lewat Bahasa isyarat dengan kedua alisku terangkat.

"Kenapa lo ngelihatin sepatu mulu?" Tanyanya.

Aku menggeleng, "Gapapa." Jawabku lirih.

Sialan.

Aku melamun kembali, teringat asal muasal bagaimana aku mendapatkan sepatu seharga satu juta kurang sedikit itu. Entah, mungkin alam sadarku sedang mencoba untuk membangkitkan memori-memori tentangnya.

"Kekecilan?"

"Kagak kok." Jawabku tersenyum agar tidak mencurigakan jika aku sedang tidak fokus.

"Ayo ke lapangan!" Ajaknya lagi.

Aku kembali menggeleng, "Duluan aja! Gue cadangan kali ini."

"Yaudah." Jawabnya sembari melangkah masuk ke dalam lapangan yang sudah dipenuhi oleh anak-anak yang sedang melakukan pemanasan.

Pertandingan sudah dimulai, aku baru saja mengenakan sepatuku. Biasanya aku melakukan ritual sebelum bertanding, yaitu merokok. Entahlah, bagiku rokok merupakan salah satu doping untuk lebih kuat dalam berolahraga.

Jangan ditiru, itu hanya teoriku saja.

Permainan berjalan dengan cepat, umpan satu-dua dengan kombinasi formasi satu anchor, dua flank dan satu pivot dalam tim musuh, benar-benar diluar dugaanku. Musuhku kali ini benar-benar tim futsal. Mereka paham bermain, pikirku dalam hati.

Benar saja, timku kebobolan satu gol tak lama setelah peluit kick-off dibunyikan. Aku yang sebelumnya tidak perduli dengan pertandingan pun sempat terpana. Rokok yang masih tersisa setengah batang aku buang saat itu juga.

Dengan cermat, aku melihat satu persatu pemain tim musuh. Kali saja aku kenal dan bisa mengetahui dari sekolah mana mereka berasal. Mungkin aku hanya memiliki satu info, yaitu mereka satu sekolahan dengan Gio. Hanya saja aku tidak tahu dimana Gio bersekolah.

Aku berdiri dengan tangan mengenggam jaring. Hanya Gio seorang yang aku kenal dari tim musuh. Bahkan raut wajah pemain cadangan yang sedang berdiri dipinggir lapangan saja tidak ada yang ku ketahui identitasnya, kecuali ada satu pemuda yang sedang membelakangiku dengan menggunakan jersey tim sepak bola kebanggaanku asal Spanyol.

"Sialan, gak ada yang gue kenal." Gerutuku lagi dalam hati.

Baru saja aku mengumpat, sosok yang mengenakan jersey berwarna putih itu malah membalikkan badan, membuatku menganga tak percaya. Aku terduduk di tribun, badanku lemas seketika saat ku ketahui jika ia adalah Reyvan. Terlebih lagi saat aku melihatnya yang menggunakan jersey pemberianku.

*Flash Back*

Ada satu hari dalam satu tahun dimana aku tidak menyukai hari tersebut. Bukan karena aku sial pada hari itu, namun aku lebih tidak menyukai dalam menjalankannya. Ya, hari dimana aku dilahirkan ke dunia ini.

Sore tadi selepas pulang sekolah ketika aku baru saja tiba di halaman rumah Tama, aku langsung dihujani lemparan telur busuk dan tepung dari teman-temanku. Sebenarnya aku sudah biasa mendapatkan perlakuan seperti ini setiap tahun, namun kali ini berbeda, karena ini pertama kalinya aku mendapat kejutan ini di tongkronganku setelah tahun lalu aku sempat lolos dari jebakan teman-temanku.

Sumpah, bau badanku sudah awur-awuran.

Kali ini aku sedang menyeka tubuhku di depan pintu kamar mandi dengan handuk yang diberikan oleh Tama. Entah sudah berapa banyak sampo yang aku pakai untuk menghilangkan bau di rambutku, namun rasanya aku masih mencium bau busuk tersebut.

REY!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang