Denouement

241 19 1
                                    

Tak jarang aku duduk di kursi kayu yang berada di bawah pohon jambu halaman rumah Tama. Selain tempatnya yang rindang, kadang juga digunakan untuk berkumpul sebelum pulang ke rumah masing-masing sembari membahas hal-hal yang akan dilakukan dikeesokan harinya. Namun sore ini aku sendiri, sedang yang lainnya berada di dalam rumah.

Bukan tanpa alasan aku sendirian, melainkan untuk menanti Reyvan. Aku begitu rindu dengan anak manis itu, beberapa hari ini seperti ada dining tinggi yang menghalangi.

Tak lama dalam keheningan, pagar rumahnya terbuka, aku melihat Reyvan tengah berusaha untuk memundurkan motor dari dalam garasi rumahnya. Aku merasa ia akan pergi, dengan segera aku memanggilnya.

"Rey!" Panggilku dari balik dinding rumah Tama.

Reyvan celingak-celinguk, mencari suaraku. Setelah mengetahuiku, ia langsung membuang muka. Merasa belum ada kemajuan dalam masalah ini, aku segera menghampirinya. Namun belum juga sampai, dengan buru-buru ia melajukan cepat motornya.

Aku yang melihatnya berlalupun hanya memandang tak percaya. Sebegitu bencinya ia padaku karena kejadian tempo hari? Batinku.

"Ciee ditinggal!"

Sebuah suara dari seseorang membuatku menoleh dan melihat Jafar yang tengah melihatku dengan cengiran disudut bibirnya.

"Udah peka sekarang?" Tanyanya karena tak jua satu kalimat terucap dari bibirku.

Aku hanya menghembuskan nafas mendengar pertanyaan Jafar. Atau mungkin itu adalah ucapan sindiran?

Aku berbalik lesu, "Iya gue udah sadar apa yang gue rasain." Gumamku pelan, bahkan aku rasa ia tak mendengar apa yang aku ucapkan. Aku tak menghiraukannya dan berjalan begitu saja masuk ke dalam rumah Tama.

*****

Beberapa hari selanjutnya, disaat aku masih terbayang-bayang oleh Reyvan dan kejadian-kejadian yang terjadi selama satu-dua minggu belakangan, tentang kebersamaanku dengan Reyvan, perhatiannya, atau hal-hal berbau mesum yang kulakukan padanya, maupun perannya dalam merebut atensiku, kini aku semakin menyadari tentang kenyataannya.

Malam itu begitu temaram, bahkan dua benda yang selalu menemaniku, yaitu bulan dan bintang enggan menunjukkan rupanya. Langit begitu gelap, tidak ada penerangan karena tertutup lebatnya awan. Malam itu sangat menggambarkan perasaanku yang begitu kalut.

Setelah kejadian sore hari di mini market, ada sesuatu yang merenggut kesadaranku. Mau tak mau aku harus mengakui jika aku merasa kehilangan. Jujur, aku kehilangan sosok Reyvan yang sudah beberapa hari belakangan absen dari kehidupanku.

Hatiku sadar akan merasa kehilangan sosok yang begitu penting, namun logikaku selalu menolak. Sejuta kali alam sadarku menolak untuk kepikiran Reyvan tapi sejuta kali jua alam bawah sadarku mengatakan jika aku rindu.

Namun kali ini lebih dalam, benar-benar sangat dalam. Aku sudah jatuh begitu dalam sebelum aku menyadarinya. Aku telah masuk hingga ke dasar dari lubang tersebut tapi aku baru menyadarinya.

Semakin pagi dan udara semakin dingin. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, berusaha merebahkan tubuh, tapi sayang mata ini enggan terpejam. Sekuatnya aku untuk melupakan Reyvan, selalu saja gagal.

"Ckk, gue kenapa dah?" Decakku menutup mata, meremas wajahku dengan kedua tangan. "Masa iya gue jadi humu." Lanjutku lantaran pasrah dengan keadaan.

Beberapa kalimat terngiang, membuatku tidak bisa tidur semalaman. Sudah satu minggu berturut-turut dan selalu berakhir seperti ini. Bahkan ketika adzan shubuh berkumandang, mataku masih terjaga dan pikiranku semakin dipenuhi oleh sosok Reyvan, yang entah mengapa tidak mau pergi.

REY!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang