Obfuscate

282 26 7
                                    

Aku menjadi heran sendiri kenapa kemarin aku bisa memutuskan hubungan dengan semua pacar-pacar perempuanku, sehingga kini akupun menjadi jomblo. Tapi satu yang menjadi tolak ukur mengapa aku melakukan ini semua, tidak lain memang karena faktor Reyvan.

Harus diakui jika saat ini aku merasa menyukai seseorang, namun tertahan oleh beberapa situasi dan kondisi yang tidak mendukung. Apa kalian pernah merasakan posisiku sekarang? Tentu, aku selalu mengelak dan berfikir jika aku menyukai Reyvan lebih dari seorang teman.

Tapi yang semakin membuatku bingung ialah jika memang aku hanya menganggapnya sebagai teman, lalu mengapa aku tidak suka ketika ia dekat dengan orang lain? Ingin rasanya aku membawa anak itu pergi tatkala ada yang berkontak fisik dengannya.

Aku labil.

Mungkin itu situasi yang dapat menggambarkanku untuk saat ini.

Anak yang sedang kubicarakan kini sedang berlari kecil di dalam lapangan. Kacamata yang biasa dikenakan sudah dilepaskannya sejak berada di luar lapangan vinil tersebut.

"Gue lihat-lihat lo semakin intens sama si Reyvan." Ujar Fauzan menghampiriku.

Aku memberi ruang pada Fauzan agar duduk disebelahku, "Kan emang tiap hari gitu."

"Maksud gue, makin lama kayak orang pacaran." Balasnya.

Aku memutar bola mata dan menatapnya jengah, "Kan lo pada yang bilang gitu."

"Ck, susah ngomong sama elo." Decak Fauzan yang disusul oleh kekehan dariku.

Aku kembali mengalihkan pandanganku kepada sosok yang sebelumnya aku perhatikan, kini ia sedang melihatku dari dalam lapangan, terukir senyum dibibirnya juga sesaat setelah mata kami bertemu.

Duh manisnya.

"Lo beneran beda saat ngelihat dia, Ka." Ujar Fauzan kembali.

Aku terkejut karena Fauzan masih melihatku, "Ah enggak." Elakku sembari mengenakan kaos kaki yang sempat tertunda.

Fauzan memegang lenganku, "Jadi beneran, kan?"

Aku masih mengelak, "Beneran apanya anjir?"

Fauzan tersenyum, "Kentara banget elah."

Entah kenapa aku selalu tidak suka kepada Fauzan ketika ia menunjukan wajah smirk-nya. Seakan-akan ia tahu dengan keadaan yang sedang terjadi.

Aku mendiamkannya, memilih untuk memakai sepatu futsalku. Namun dari sudut mataku, aku masih bisa melihat jika ia tertawa walau tak bersuara.

Fauzan tak kunjung menyerah untuk menggali informasi, "Udahlah! Gue udah tahu." Tuturnya.

Aku menoleh jengah, "Tahu apaan sih?" Tanyaku semakin tidak nyaman.

Senyum Fauzan semakin lebar, "Lo berdua punya tanda yang sama."

Aku diam seketika mendengar ucapan Fauzan.

Tanda?

Astaga.

Reflek aku memegang leherku untuk menutupi tanda tersebut. Apa iya sejelas itu, sampai-sampai masih bertahan dua hari lamanya? Aku kira sudah hilang.

Aku masih mengelak, "Digigit nyamuk gue mah."

Fauzan tertawa dan mematahkan asumsiku, "Padahal gue enggak bilang tanda apaan, tapi lo malah megang leher lo." Potongnya.

Sial, ucapku dalam hati.

Fauzan benar-benar memancingku untuk mengakui kebenarannya.

"Lagipula alasan lo goblok ah. Gue tau bedanya di gigit nyamuk sama di cupang mah." Fauzan tertawa, "Lagian kalo di gigit nyamuk kenapa bisa samaan?"

REY!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang