Bagaimana pula Ji Eun bisa menggambarkan perasaannya saat ini yang kelewat pilu karena melihat Jungkook tergeletak tak berdaya di sebuah ruangan berpendingin dan sendirian didalam sana.
Benar-benar sendirian dengan guratan kesedihan yang nampaknya bisa Ji Eun baca dari kejauhan hanya dengan sekali lihat. Wajahnya penuh dengan lebam, punggung tangannya dimasuki sejarum selang yang mengalirkan cairan infus dan suara gamang elektrokardiograf berikut layarnya yang menampilkan detak jantung Jungkook dalam bentuk grafik tak beraturan.
Cukup untuk membuat kaki Ji Eun lemas seketika.
Kepalanya mendongak beberapa kali demi bisa melihat eksistensi Jungkook secara keseluruhan, karena waktunya menjenguk belum tiba. Sesekali napasnya bercampur isakan, tak kuat dengan apa yang dilihatnya saat ini.
Dibelakangnya, bibi Park menghela napas karena khawatir. Keponakannya itu sudah cukup mengalami guncangan psikis yang berat dari kakaknya, ia merasa sebenarnya tak perlu ditambahkan dengan mematahkan hatinya setelah membiarkannya datang ke rumah sakit untuk menjenguk Jungkook. Tetapi anak itu keras kepala. Ia mungkin akan tetap merangkak untuk datang kerumah sakit meski dilarang sekeras apapun.
"Masa kritisnya sudah lewat."
Sebuah suara membuat Ji Eun menoleh.
"Eoh, Jimin-ssi! Apa kata dokter?" Tanya Ji Eun setengah berlari menghampirinya.
Disamping Jimin, Seokjin mengerutkan dahi melihatnya. Ia berkesimpulan bahwa wanita didepannya sekarang adalah wanita yang beberapa waktu lalu menelepon Jungkook.
"Ah, selamat malam, oppa." Ji Eun membungkukkan tubuh sebagai pemberi salam karena menyadari Seokjin sedang memperhatikannya.
Sebelum sempat Seokjin berbicara, Jimin menolehkan kembali kepalanya pada Ji Eun untuk memberikan informasi, "peluru yang bersarang hampir saja mengambil nyawa Jungkook. Beruntung tim bedah bisa mengeluarkan benda itu tanpa merobek serambi kiri jantungnya. Walaupun demikian, sampai saat ini dia belum sadarkan diri."
Pengulangan informasi dari Jimin hampir saja membuat Seokjin mengeluarkan air matanya kembali, dan berhasil membuat dua wanita disekitar mereka terperangah bersamaan.
Terutama Ji Eun.
"Dia bisa tetap hidup bukan?" Tanya Ji Eun enggan bertanya lebih detail mengenai serangkaian kronologi yang telah dialami oleh Jungkook.
Tetap hidup. Hanya itu yang ingin Ji Eun dengar saat ini.
"Tentu. Maksudku--kau bisa lihat grafik didalam sana bergerak bukan? Tidak.. lurus?" Tanya Jimin sedikit sarkastis walau sebenarnya ia tak bermaksud untuk menyakiti siapapun.
Agaknya Ji Eun butuh lebih banyak ucapan peyakinan dari Jimin maupun Seokjin, karena setelah mendengar informasi barusan, air mukanya tetap tegang dan sorot matanya sarat akan kesedihan.
Bibi Park jelas membacanya dari samping. Maka ia berinisiatif untuk merangkul Ji Eun dan menenangkannya dengan beberapa sentuhan di punggung wanita itu.
"Tak perlu khawatir sayang, Jungkook pasti sadar sebentar lagi," kemudian ia menatap Jimin dan Seokjin bergantian, "mohon maaf sebelumnya. Aku wali dari Ji Eun. Kalian bisa memanggilku bibi Park."
Serentak kedua pria itu memberikan salam. Jimin menatap bibi Park dengan senyuman hangat, sementara Seokjin memberikan sorot penuh curiga dan antisipasi yang tanpa sadar ia tampilkan.
Wanita paruh baya itu--Seokjin hampir yakin--memiliki benang merah lebih jauh perihal musabab yang terjadi pada adiknya.
"Permisi," akhirnya Seokjin mengeluarkan kata, "apakah mungkin Anda bisa membantuku memberikan penjelasan tentang kronologis musibah ini? Maksudku, aku sudah tahu sebagian besarnya. Tapi tampaknya Anda bisa melengkapi informasi yang aku ketahui."
KAMU SEDANG MEMBACA
10000 Hours | Jungkook x IU
Fanfiction"Jika membutuhkan waktu 10.000 jam atau bahkan sisa hidupku, aku akan selalu mencintaimu." Warning: Action, might be includes blood content, angst, 🔞