M.4

7K 1.2K 207
                                    

Sorry for typo(s)





Dulu sekali, saat Renjun masih sekolah dan menggunakan seragam kemudian menceritakan hari-harinya di sana membuat Jaemin juga ingin merasakan. Begitupula yang dialami oleh Haechan, anak itu meraih tangan kembarannya lalu diangkat dengan raut wajah gembira. Berceloteh tentang keasyikan yang akan dirasakan jika sudah menginjak dunia pendidikan.




Awalnya menyenangkan, dari mulai diperbolehkan bemain, bernyanyi bersama sampai pada tahap harus fokus pada buku-buku. Untuk Haechan, ia lebih tanggap meskipun tubuhnya tak bisa diam. Pertanyaan-pertanyaan diluar dugaan dilontarkan olehnya, tetapi hal tersebut membuat guru-guru tekesan pada anak itu.



Namun, Jaemin kurang beruntung mendapatkan perhatian tersebut.



"Ya Ampun, Park Jaemin! Kemarin kan sudah belajar menulis ini? Kenapa masih belum bisa juga, ha?! Huruf saja sudah sebesar ini masih salah menulis!"



Anak itu menundukkan kepala dengan pensil yang begitu erat digenggam, bentakan tersebut sampai pada ulu hatinya. Lalu, dirasakannya kedua telinga yang ditutup oleh sebuah tangan. Jaemin menoleh pada sang kakak kembar yang menatap garang di sana.



"Tidak boleh teriak-teriak di sekolah kata Mami! Guru baik, Guru bantu murid!" bentak Haechan.



Pria paruh baya pendek dengan potongan rambut wavy hair belah tengah itu mendengkus, memainkan penggaris besar yang selalu dibawanya saat mengajar. Kacamata bulat yang besar dibenarkan saat ia berteriak kesal tadi, "Anak ini paling lambat untuk belajar," dengan manik yang mendelik pada si bungsu Park, "Menulis nama sendiri masih salah," omelnya lagi.



Padahal, Jaemin sudah berusaha keras untuk paham. Jika sang kakak Renjun yang mengajarinya pasti tidak akan membentak, entah dibuatkan minum atau makanan kecil untuk 'bensin' supaya bersemangat kembali belajar.



Tidak ada tempat yang paling nyaman selain di rumah bagi Jaemin saat ini. Namun, ia juga tidak mau meninggalkan Haechan di sekolah sendirian.



"Kalau sudah bodoh, ya bodoh saja!"



Dan sebuah gebrakan pada pintu didengar membuat penghuni kelas itu berteriak kaget. Termasuk sang guru yang menggunakan penggaris panjang itu terangkat dengan kasar sampai membuat murid di depannya harus menunduk.



"YAK! SIAPA KAU, HA?"



Si kembar Park nampak tertegun di sana, melihat sosok laki-laki masuk dengan santai. Namun, sorot matanya memancarkan amarah. Ia berjalan mendekat pada meja Jaemin dan ekspresi menakutkan tadi berubah menjadi senyum meneduhkan.


"Ayo ikut dengan Jeno Hyung. Ada Bongshik di luar."


Kening Jaemin berkerut dengan pipi menggembung, "Bongshik?" tanyanya heran.



Senyum Jeno masih terpasang di sana dan menjelaskan kembali, "Kucing, Nana kasih Mam kemarin."



Tak hanya Jaemin, kini Haechan juga meloncat bahagia, "Kucing!" soraknya.



Dan kedua tangan Jeno terulur untuk menawarkan genggaman, kedua anak itu entah mengapa menurut. Rasa takut dan cemas tadi tiba-tiba berubah menjadi gembira.



"HEI! BOCAH KURANG AJAR!" teriak sang guru yang sama sekali tidak dihiraukan oleh Jeno.



Lelaki itu membawa keluar si kembar Park, melewati lorong sekolah untuk menuju ke taman belakang seperti kemarin. Jeno menunduk ketika merasakan genggaman tangan pada Jaemin begitu erat, menandakan bahwa ia benar-benar ketakutan tadi.



Milý✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang