M.8

5.9K 1.1K 96
                                    



Sorry for typo(s)



Sedih berlarut itu tidak baik, untuk hati maupun kesehatan bahkan cara berpikir pun akan terganggu. Hal yang belum terjadi bisa membuat kecemasan yang berlebihan, itu yang dirasakan Renjun setiap hari. Adik-adiknya tumbuh penuh dengan kasih sayang dari sang ibu tiri dan ayah. Tidak pernah merengek secara terang-terangan untuk bertemu dengan Irene, si kembar masih belum paham arti ibu kandung. Yang mereka tahu bahwa ada sosok lain, yang harus dipanggil sebagai Mama.


Untuk kesalahan Irene, ia mencoba untuk memberikan waktu pada beliau. Mereka berada di situasi yang sama dengan mental yang sedang diuji pula. Semua sulit untuk diterima secara langsung dan jalan satu-satunya adalah sebuah kesempatan waktu.



Pagi itu, Renjun bangun dengan perasaan yang jauh lebih baik. Ketika orang tuanya masih terlelap, pemuda itu sudah mandi dan menyiapkan sarapan sederhana. Baru saja selesai, Wendy yang masih memakai piyama terkejut melihat putranya.


"Mami mandi saja, aku yang membangunkan Echan dan Nana," ujar Renjun diimbuhi dengan senyuman.


Sebagai ucapan terima kasih, Wendy memberikan pelukan singkat untuk pemuda mungil tersebut.


Setelah itu, Renjun naik ke atas menuju ke kamar adik-adiknya. Dua perbedaan terjelas dari posisi tidur mereka, Jaemin yang bersembunyi di dalam selimut dengan tangan dan kaki Haechan memeluk sang adik bagaikan sebuah guling.



Kepala pemuda Park itu menggeleng pelan, ia duduk di tepi ranjang kemudian menyingkirkan tangan serta kaki Haechan dari adik kembarnya. Karena sentuhan tersebut, membuat dua anak itu menggeliat. Manik mereka mengerjap beberapa kali sembari menguap dan merubah posisi menjadi tengkurap.


"Ayo bangun, sekolah, Echan dan Nana."

"Kenapa sekolahnya tidak malam saja, Hyung?" celoteh si bungsu sembari merapatkan selimutnya.


"Huum," tambah Haechan di sana sembari mendusal pada ceruk leher sang adik, "Pagi, siang untuk tidur dan bermain."


Si sulung tertawa kecil, menarik pelan selimut mereka. Jemarinya mengusak surai adik-adiknya secara bergantian.


"Ayo, kalau disuruh harus segera dikerjakan. Adiknya Injun Hyung baik-baik, iya kan?"



Mendengar itu, Haechan segera merubah posisinya menjadi duduk sembari membuka kancing piyama, "Echan dulu mandi!" serunya kemudian menghambur pergi meninggalkan sang adik yang masih mengantuk di ranjang tidur.



Kebiasaan Jaemin untuk melamun sebentar sembari mengusak bantal. Bahkan pipi dan bibir dimainkan saja tidak membuat anak itu risih.


Untuk itu, Renjun berdiri dan menyiapkan seragam sekolah mereka serta memeriksa kembali buku-buku yang akan dibawa ke sekolah.


"ECHAN, PAKAI SABUN!"



"IYAAA!"




Tubuhnya berbalik dan melihat Jaemin sudah duduk, bibir anak itu tercebik dengan mata yang masih mengantuk. Setelah Haechan keluar, bukannya berganti baju justru menarik sang kembaran supaya mandi bahkan sampai membantu untuk melepas piyama.



Seulas senyum terukir di bibir Renjun, perubahan besar dalam kepribadian mereka cukup membuatnya terkesan. Padahal beberapa tahun silam, mereka masih sangat bergantung pada Mami maupun Ayah. Dengan terapi yang dianjurkan dokter untuk dilakukan di rumah ternyata membuahkan hasil.



Milý✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang