Pelukan Satya mengendur, lelaki itu mundur selangkah dari Dara.
Duh, mau apa dia pake ke sini segala? batin Dara memalingkan wajah dan memejamkan mata sejenak.
“Lain kali, jangan kamu peluk-peluk istri saya lagi.” Brandon mengimbuhi seraya menarik Dara keluar dari pelukan Satya.
Siapa saja bisa melihat kilatan tak suka di mata Satya. Malu, Dara malu sekali. Setiap pasang mata yang lewat, tak ada yang tidak menatap ke arahnya. Bukan masalah kalau saja ini bukan halaman fakultas, tak ada yang kenal Dara, tapi di sini hampir semuanya kenal Dara. Iyalah, Sekretaris Jendral HIMA ekonomi, semua anak ekonomi pasti kenal dong.
Dara tentu saja menyingkirkan telapak Brandon dari tangannya. Dia mendekati Satya. “Nanti aku telpon lagi,” tersenyum sekilas. “Aku pergi dulu, ya, bentar lagi mau ada kelas.”
Tanpa perlu repot-repot pamit pada Brandon. Dara langsung bergegas mengambil langkah, tapi pria tua itu menghentikannya. Menarik pergelangan tangan Dara lagi.
“Apaan sih!” sentak Dara.
“Kita pulang sekarang.”
Alis Dara menyatu. “Pulang aja sendiri! Gue ada jam kuliah.”
“Kamu gak kuliah, kamu li—”
“Kata siapa gue libur? Gak liat kampus ramenya kaya gini. Dahlah, malah telat nanti.”
Bodo amat dengan tata krama, ucapan halus, Dara sudah bosan bersikap sopan. Peduli amat dengan permintaan Kak Marchel. Dia tak bisa menahannya lagi. Jijik banget pake aku-kamuan.
“Saya sudah kirim surat izin libur punya kamu sampai hari jum'at.”
Brandon mendekat lagi, meraih tangan Dara. Lalu menariknya meninggalkan hslaman fakultas sambil bergumam, “Mau kamu masuk pun absennya tetap izin, jadi percuma.”
Dara berbalik, menatap tak percaya. Apa-apaan sih, dia, batin Dara.
Di pinggir jalan samping mobil sedan hitam Brandon, Dara berdiri mematung dengan tatapan kesal. Sementara pria itu terus memerintahnya untuk masuk.
“Bacot! Anjir,” maki Dara lalu masuk dan membanting keras pintu mobilnya.
Sepanjang perjalanan pulang, keheningan merayap. Tak ada lagu, ataupun radio mobil. Benar-benar sunyi. Sampai di persimpangan lampu merah. Sembari menunggu hijau, Brandon tiba-tiba berceletuk, “Kamu itu cocoknya gaul sama mereka.”
Dara menoleh ke kanan. Kaca mobil sebelah Brandon terbuka, dia menyodorkan uang dua ribuan pada pengamen yang berpenampilan seperti anak punk.
“Gak punya etika berbicara, urakan, gak ada sopan santunnya.”
“Tau apa sih, lo?” Amarah Dara jadi meluap-lupa lagi gara-gara mendengar ocehan Brandon.
“Lain kali, belajar bicara yang sopan.”
“Bukan urusan lo! Lagian ngapain ikutan ngatur-ngatur kuliah gue. Pake segala nyamperin lagi. Telpon kan, bisa kali.”
Mobil kembali melesat di jalan raya. Melirik sedikit, orang di sampingnya masih menatap datar jalanan. Dara tau, om-om tua ini juga sedang marah.
“Ponselmu tak menjawab. Lagi pula yang mau kamu libur itu Marchel, bukan saya.”
Dara melirik sekilas pada Brandon. “Norak banget sih, orang tua-tua ini.”
Tanpa sepengetahuan Dara, Brandon mengepalkan kuat tangannya pada setir mobil. Bibirnya mengatup rapat.
Sementara itu, Dara mendesah panjang melihat keadaan jalanan. Bising, padat, dan sejak tadi, mobil Brandon hanya mampu merambat pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Branda War in Love
RomanceInsiden Kak Marchel memergokinya bersama Satya, membuat Dara mau tak mau hidup sebagai babu Brandon paling tidak sampai tiga tahun ke depan. Astaga ... Brandon itu menyebalkan dan terlalu bossy. Dia pikir seorang Dara bisa diperbudak dengan mudahnya...