BWIL - 18. Pil Pahit

912 72 9
                                    

‍Malam ini, diiringi angin dan rintik hujan. Dara duduk dengan penuh harap menanti orang di seberang mengangkat panggilan videonya. Ah, bukan dia, lebih tepatnya Rama. Iya, Rama hampir saja tidur saat barusan Dara menggedor pintu kontrakan satu ruangannya ini. Susah payah Dara membujuk Rama agar pria itu mau melakukan hal ini.

Dara menghela napas, menatap layar komputer di pojok ruangan. Jantungnya sedikit berdetak lebih cepat, menerka-nerka sedang apa Satya sekarang. Di sana sedang pagi kan, apa, dia sedang berkutat dengan tugas juga tumpukan buku tebalnya.

Dara langsung mengusap air yang tiba-tiba mengalir dari ujung matanya. Astaga, serindu inikah Dara sampai rasanya terharu.

"Dar, agak ke sanaan dikit. Nanti lo keliatan lagi."

Dara cuma mengangguk, memberi isyarat pada Ryan untuk ikut bergeser menjauh dari meja. Tak lama setelahnya, panggilsn video terhubung. Baik Ryan ataupun Dara hanya diam mendengarkan dua sahabat itu saling bersapa.

"Ada apa?" tanya Satya singkat. Suara parau dan tatapan matanya, Dara paham betul Satya sedang ninum sekarang.

"Lo lagi sibuk gak?"

"Sedikit, nih gue lagi ngerjain tugas." Di layar itu, Satya tampak memperlihatkan beberapa buku dan sebuah map miliknya.

"Sableng!" Rama mendecih, tersenyum miring. "Tugas lo ancur dah kalo ngerjainnya sambil mabok. Goblok lo."

Satya malah terkekeh mendengar kalimat frontal sahabatnya. "Gue gak bakal terdampar ke sini kalo gue gak sableng." Ada sedikit raut lain saat Satya mengatakan itu, duka.

"Biasanya ada pawang yang ngontrol lo biar gak minum pas ngerjain tugas." Satya hanya diam, menatap pada buku-bukunya.

Lantas Rama angkat bicara lagi, "Dara kayanya kangen. Lo gak kangen gitu sama dia?"

Satya menghembuskan napas kasar, menegakkan punggungnya seraya mengusap wajah. "Dara kenapa?"

"Gapapa, dia baik-baik aja. Cuma Dara nanyain kabar lo terus. Gue harus jawab apa?"

‍‍‍
Terlihat raut wajah Satya berubah drastis. Sendu, dia terdiam sejenak lalu berujar, "Bilang aja lo gak tau. Jangan jelasin apapun tentang gue ke dia. Dara gak perlu mikir apapun tentang gue. Dia harus fokus sama studinya. Kesenangan gue, cuma munculin hambatan buat dia."

Di layar muncullah seorang gadis berambut panjang, berpakaian terbuka membawa gelas yang di sodorkan pada Satya.

Keliatannya dia bule tapi ternyata ... "Siapa Dara? Pacar kamu?" Dia fasih berbahasa indonesia.

"Enggak, temen akrab aja." jawab Satya lalu mencium pipi gadis berambut coklat di sampingnya.

Dara terbelakak, satu tangannya menutupi mulut. Benarkah yang di layar itu Satya, pria yang mengaku masih akan mencintainya bahkan setelah kembali dari Amerika. Di sana, sekarang dia tengah menyambut bahkan tak protes saat tubuh ramping waita itu jatuh ke pangkuannya. Satya juga tak kuasa menolak saat perempuan itu dengan tiba-tiba menciumi bibirnya. Dara terisak tanpa suara, menonton pergulatan penuh gairah bibir Satya dengan wanita lain. Tangan lelaki itu bahkan tak bisa diam, menjelajahi punggung mulus wanita itu, berusaha membukanya seolah-olah mereka hanya berdua.

Gaya itu, gaya berciuman Satya yang sangat akrab bagi Dara. Satya memang begitu saat mulai lupa diri terserang alkohol. Dan sekarang, dia melakukannya dengan wanita lain.

"Anjir, lo sange jangan di depan gue."

Dara mundur, menjauh dari layar PC milik Rama. Dia menutup mulut menahan isak tangis sampai panggilan video benar-benar terputus. Dara tak menyangka dengan apa yang dilihatnya. Satya. Dia punya perempuan lain di sana. Apa bagi laki-laki itu dia cuma mainan. Apa seremeh itu perasaan Dara untuk dia. Apa di sana, Satya akan melakukan hal yang sama pada gadis bule itu, seperti yang nyaris Satya lakukan pada dirinya. Apa selama ini Satya cuma mencari pelepasan rasa puasnya. Apa dia cuma sekadar penasaran dengan tubuhnya. Apa seremeh itu perasaan Satya untuknya.

Dada Dara rasanya sesak. Ternyata selama ini dia salah menilai Satya. Satya yang Dara pikir tulus mencintainya. Satya yang Dara pikir benar-benar tulus ingin menjaganya. Satya yang Dara pikir, selalu datang untuk menguatkan Dara di saat terberat dalam hidupnya. Pada kenyataannya tidak begitu.

Jadi, selama ini dia ngincer sesuatu dari gue.

Rasanya air mata Dara ingin sekali tumpah, tapi tidak di depan Rama. Dengan susah payah menahan seraknya suara Dara berdiri, melangkah lebih dulu menuju pintu.

"Rama thank's. Yan, gue mau pulang," pinta Dara tak peduli meski hujan sedang deras-derasnya.

***

Dok dok dok

Brandon tak peduli, dia akan melakukan apa saja meski harus menggedor pintu kos-kosan di jam seperti ini. Ya, tentu saja Brandon mencari Dewa. Curut itu pasti tau ke mana sepupunya pergi.

Namun rupanya, Dewa keluar dari kamar kostan-nya dengan muka bantal. Mungkin tadi sudah tidur, batin Brandon.

Seperti dugaan Brandon saat ia melihat Dewa keluar dengan muka seadanya. Dara tak bersama Dewa, bahkan sejak kelas kampus bubar.

"Gue anterin ke kostnya Ryan aja. Mungkin Dara di sana, Om."

Diwaktu yang singkat, dua kali Brandon menelan pil pahit. Dara tak kunjung bisa ia temukan.

"Kamu gak lagi mempermainkan saya kan?"

"Serius Om, sumpah. Jangankan ngajak om kain-main, gue mana berani ngajak Dara main lama-lama lagi. Gue juga sungkan sama Mama. Gue yang berulah, malah nanti mama yang malu."

Brandon menghela napas. Siapa peduli dengan ibunya Dewa. Kenapa juga anak ini membawa-bawa nama ibunya. Dan, arah pembicaraannya mulai tak karuan. Hah, sudhalah.

"Saya gak akan diem aja kalo kamu ternyata bohong."

Dewa mengangguk cepat, nengangkat telunjuk dan jari tengahnya. "Suer, Om. Gue gak bo'ong."

"Kabarin saya kalau kamu tau Dara di mana," pungkas Brandon lalu mengendarai mobilnya dengan rasa kesal. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, di mana lagi dirinya harus mencari Dara. Tempat boxing kemarin pun sudah Brandon periksa. Tak ada tanda keberadaan istrinya.

Di tempat berbeda diwaktu yang bersamaan. Dara dengan rambut basah kuyupnya berteriak kencang di atas jembatan, menatap derasanya air kali yang mengalir.

"Satya sialaaan!" lalu tersedu memangis lagi. "Gue benci sama lo, bangsat! Otak selangkangan."

Beberapa meter di belakangnya, Ryan terkejut mendengar ucapan Dara. Sambil memeluk baju yang basah kuyup, dia mulai berjelan mendekati Dara. Sudah cukup mereka mendinginkan badan di sini. Dara memang bisa bertindak nekat jika sedang dalam suasana hati yang buruk.

Sudah sejam sejak hujan turun dan Dara masih tak herhenti mengumpat di pinggir kali.

"Udah tengah malem, jangan nyumpah di pinggir kali mulu. Gie gak bisa nolong kalo semisal lo didorong penghuni kali."

Dara menoleh tajam. "Gak usah nakut-nakutin deh," ucapnya parau.

Gadis itu merogoh saku jaketnya. Mematikan ponsel, mengeluarkan sim card dari slot di sisi benda pipih itu. Dipandangnya sejenak, lalu setelahnya ia membuang benda kecil itu ke bawah sana.

"Gue gak mau pulang dulu. Gue mau ikut lo dulu aja."

Tbc ...

Senin, 28 juni 2021

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 15, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Branda War in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang