“Ngibulkan lo. Mana mungkin masih perawan,” celetuk Dewa sesaat setelah mendengar pengakuan Dara.
Saat kedua saudara sepupu itu saling bersahut-sahutan. Tiba-tiba, Rian ikut mendudukan diri di kursi meja keduanya. “Siapa yang masih perawan?”
“Tuh.” Dengan santainya Dewa menodongkan jari telunjuk ke arah Dara.
“Masalah emangnya buat lo?” sahut Dara.
“Lah dasar lola.”
Sementara Dewa menghinanya habis-habisa. Dara hany bisa mendesah pelan, menundukkan sedikit wajah ke mangkuk mie ayam. Dara ingat betul kalau Dewa tak pernah bisa menjaga rahasia. Heran sendiri, kenapa dirinya selalu menceritakan segala hal pada si keriting yang satu ini.
“Gue mah kagak percaya omongan nih anak. Lo percaya gak, Yan?” Dewa angkat bicara lagi.
Dara melotot fibuatnya, ngapain dibahas lagi. “Anjir, apaan sih, Wa. Gak penting juga kali.”
Tak tahukah Dewa, kalau hal ini terlalu memalukan untuk dibahas panjang lebar. Setidaknya begitu bagi Dara. Namun rupanya tidak bagi para kaum adam.
“Gini loh, Ra. Yang gue heranin, ini cowok apa sih motifnya nikahin elo? Coba pikir.”
Dewa mencondongkan tubuh, menunjuk tepat ke arah batang hidung Dara saat gadis itu hendak protes. “Gak usah bilang gak penting. Ini hidup lo, Ra. Bukan game simulator. Lo gak bisa buat bersikap gak tau apa-apa soal pasangan lo.”
Keadaan hening, Dara sibuk memikirkan segala perkataan sepupunya, sedangkan Rian mendengarkan seksama ocehan Dewa. “Ini aneh, Ra. Cowo mateng, sedewasa itu, udah menikah pula. Tapi malah gak terjadi apa-apa bahkan di saat lagi honeymoon.”
Dara diam, masih berusaha memproses kalimat Dewa.
“Lo harus tau sebenernya dia itu mau apa? Apa coba untungnya dia nikahin elo kalau dia gak dapet apa-apa. Karena cinta? Gue yakin seratus persen, Brandon itu jelas keliatan gak cinta sama lo.”
“Bohay? lo itu jauh dari standart. Bini kalem, lo mah begidakan banget. Daripada teman hidup, itu Om-om kaya udah miara bocah lima tahun. Yang bisanya cuma riweuh sampe bikin darah naik ke ubun-ubun. Ngomong sama lo tuh ngabisin kesabaran tau gak.”
Ini Dewa kenapa, sih. Kenapa malah dia sewot gitu. Pake nyebutin semua kekurangan Dara. Dari dulu, lelaki itu memang selalu tau cara meledekinya. Tapi hei, Dara tak semenyedihkan itu sampai tak pantas bersama siapa pun termasuk si om tua itu.
“Lo harus tau dia seperti apa. Kalo gak, hidup lo bakal dikendaliin tangan dia. Kebebasan, teman, bahkan perasaan lo bisa dia rebut sewaktu-waktu dengan tanpa perlawanan dari lo.”
Eh, tunggu. Barusan Dewa bilang apa. Perasaannya biss direbut Om Brandon. Hah! Yang benar saja. Sok tau banget lu, Wa, batin Dara.
Rian yang sejak tadi diam akhirnya berbicara. “Dewa bener, penting buat lo tau semua tentang suami lo. Siapa dia, karakternya gimana, tujuan dia apa. Om Brandon masa depan lo, Ra.”
Masa depan. Dara tak berpikir akan seserius itu hubungannya dengan Brandon. Tujuan Dara bukan pria itu, dia sekarang hanya sedang menunggu Satya kembali. Hanya itu. Lagian siapa yang peduli dengan om-om ini.
“Yan, lo tau nomor kontak Satya yang baru?”
Dewa mendelik “Lo apaan dah, mau ngapain pake ngehubungin Satya!”
Menghiraukan Dewa yang sibuk menggerutu. Gadis itu tersenyum kecil, memikirkan segala strategi yang ia rasa akan membuahkan hasil baik untuk agar bisa mencapai tujuan.
Ini sudah saatnya Dara melancarkan segala rencana, persis seperti yang sudah ia susun diawal.
“Yan, jangan pelit deh sama gue. Bagi kontak baru Satya.” Penting buat Dara tahu segala kabar terbaru pemuda itu.
Rian terdiam kaget, Dara sibuk meladeni Dewa yang terus mengoceh. Tak terima pertanyaannya diabaikan. Baperan emang anak budenya ini.
Semua yang ada di meja menjadi diam seketika karena dering ponsel putih. Layarnya menyala. Dara berdecak, memutar mata malas melihat nama kontak si penelepon.
“Kamu kenapa gak sampe-sampe ke kantor saya? Ini udah jam setengah satu. Di mana sekarang?!”
Halah, cuma acara lunch doang aja, rempong, batin Dara.
“Di kampus, mendadak ada jadwal kelas jam satu siang nanti. Aku gak bisa bolos, jadi ya gak bisa dateng.”
Catat satu hal lagi, Dara malas jika harus tersenyum palsu. Terlebih pasti dia akan dikenalkan pada teman kantor Brandon sebagai istrinya. Aduh, malulah. Dara tak pantas disandingkan dengan om tua sepertinya.
“Saya jemput ka—”
Dara menyela kencang, “Gak perlu. Ini gue lagi di kelas.”
“Dih tukang ngibul,” sarkas Dewa
“Bodo, Wa!” Dara beralih pada teman yang satunya. “Yan, nomor barunya Staya?” ujarnya lagi seraya menodongkan tangan.
***
Kalau saja Dara bersikap kasar di hadapannya, Brandon tak masalah. Dia sudah biasa. Yang jadi masalah, tadi itu bosnya pun ada di sana mendengarkan. Terdengar ganjil saat tiba-tiba seorang istri mematikan sambungan telpon dari suaminya di tengah percakapan. Ya Tuhan, pergi kemana sopan-santun istrinya.
“Istri saya tak bisa hadir untuk makan siang, Pak. Mendadak ada kelas kuliah. Saya mohon maaf telah membuat bapak menunggu.”
To be continue ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Branda War in Love
RomanceInsiden Kak Marchel memergokinya bersama Satya, membuat Dara mau tak mau hidup sebagai babu Brandon paling tidak sampai tiga tahun ke depan. Astaga ... Brandon itu menyebalkan dan terlalu bossy. Dia pikir seorang Dara bisa diperbudak dengan mudahnya...