47. Saat Fajar

17.4K 2.2K 109
                                    

Karena di bab sebelumnya Mas Sakha gak ada nongol sedikit pun... jadi nih Asia kasih yang ada dianya untuk ngobatin rinduuu 😘

Jangan lupa VOTE dan happy reading!

🥀🌹🥀

Keesokan harinya, demam Airin sudah turun. Pagi-pagi sekali dia bangun dan langsung mandi untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Setelah selesai, dia membangunkan Mawar yang tertidur di ranjang bersamanya. Sejenak Airin khawatir adiknya itu akan benar-benar tertular, sehingga dia bertanya saat melihat Mawar terbangun.

"Kamu baik-baik saja?"

Mawar mengangguk lemah karena kantuk yang masih menggantung di bawah pelupuk matanya.

Airin menghela napas lega karena melihat Mawar tampak baik-baik saja. Lalu selagi Mawar di kamar mandi, Airin pergi ke jendela dan membukanya lebar. Dia berdiri di sana untuk beberapa saat, menghidu udara dingin dan aroma rumput basah dari semak belukar di bawah jendela.

Lama Airin di sana, rasa ditatap oleh sepasang mata dari kejauhan semakin jelas. Dan dengan refleks mengikuti insting Airin menoleh ke arah balkon jendela dari sebuah kamar di lantai dua.

Seketika setelah Airin melakukannya, dua pasang mata langsung saling mengunci tatapan satu sama lain.

Sakha berdiri di sana, di bawah lampu teras balkon yang masih menyala, dibasuh sedikit oleh sinar kebiruan subuh. Dia mengenakan celana bahan berwarna abu-abu dan kaos polos putih. Rambutnya acak-acakan khas bangun tidur. Wajahnya muram. Tatapannya terasa tajam. Sosoknya tampak misterius seolah dia tidak benar-benar ada di sana, persis seperti fajar yang hanya datang sebentar untuk menjemput matahari dalam beberapa menit lagi.

Airin terpesona. Tidak mengalihkan pandang sedikit pun. Begitupun sebaliknya.

Namun atensi Airin segera teralihkan ketika mendengar suara pintu kamar mandi yang terbuka dan suara langkah kaki ringan yang mendekat di belakangnya.

"Kak Ririn? Ngapain di sana?" tanya Mawar bingung. "Oh iya, aku boleh pinjam baju Kakak nggak?" lanjutnya.

Terpaksa Airin memutus kontak mata dengan pria yang berdiri di atas balkon itu. Airin menoleh ke belakang. "Ya, boleh," jawabnya, lalu mendongak lagi dan menatap Sakha yang masih berada di sana. Namun bertepatan dengan itu juga, atensi Sakha teralihkan, dia menoleh ke belakang seolah mendengar seseorang memanggilnya. Lalu diikuti oleh figur seorang wanita mengenakan pakaian tidur satin yang melangkah ke luar dari kamar dan bergabung bersamanya di balkon.

Airin memutus pandang dan menutup dua pintu jendelanya dengan suara debaman kecil yang menyertai. Dia menjauh dari sana untuk pergi mengambil air minum.

Mawar, yang baru selesai memakai baju yang dia pinjam, menatap kakaknya itu bingung. Tadi dia tampak melamun di depan jendela sambil mendongak, seolah tengah melihat demit saja. Penasaran, Mawar pun pergi ke jendela dan membukanya kembali, sementara Airin sudah keluar kamar untuk mengisi air minum. Mawar menaikkan tatapannya dan matanya langsung membelalak lebar melihat dua figur yang tengah berpelukan mesra di atas balkon di lantai dua.

Dengan secepat kilat, Mawar menutup kembali pintu jendela itu, diikuti suara debaman keras.

Dia berdiri di sana dengan tatapan syok tertuju pada daun pintu yang terbuat dari kayu. Apakah itu yang dilihat oleh Kak Ririn tadi? batinnya.

Pemandangan itu .... Sekalipun Mawar bukan istri Sakha atau siapa-siapanya, tapi hati Mawar entah kenapa terasa pilu dan seperti diremas oleh tangan semu.

Apakah ini ... yang Kak Ririn maksud semalam?

Perasaan Mawar semakin tidak karuan. Dia merasa begitu bodoh dan naif karena telah berpikir bahwa menikah dan hidup bersama Sakha akan berujung pada bahagia. Tidak, itu tidak akan berujung pada apapun yang mendekati kebahagiaan.

Karena tidak ada satupun hati yang rela diduakan.

Mawar menoleh ke belakang, pada pintu kamar yang dibiarkan terbuka oleh Airin. Kakaknya itu tampak di ruang tamu tengah menyapu lantai. Mawar menatapnya sedih. Sekalipun Airin tidak mengatakan apapun atau menunjukkan respon sedikit pun, Mawar tahu ada banyak hal yang kakaknya itu sembunyikan, sekalipun dia tidak tahu jelasnya apa. Ini membuat Mawar semakin merasa bersalah padanya.

Tapi Kak Ririn adalah perempuan yang kuat dan hebat, aku tahu dia bakal baik-baik aja, pikir Mawar menenangkan kekhawatirannya.

***

Pagi setelah sarapan bersama-sama dengan istri Sakha yang lain, Mawar pamit untuk pulang, dijemput oleh Galih. Dan Airin mengantar adiknya itu sampai gerbang. Melambaikan tangan padanya kala dia masuk ke dalam mobil.

"Salam ke Ibu sama Bapak dan juga Melati!" seru Airin.

Mawar mengangguk, lalu melambaikan tangannya dan mobil pun melaju pergi.

Ketika kendaraan beroda empat itu sudah tidak lagi nampak di pandangan, wajah berseri Airin luruh seketika. Dia berbalik, hanya untuk kemudian dibuat terlonjak kaget oleh kehadiran Sakha yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya.

"Tuan!" seru Airin marah, mengelusi dadanya, berharap bisa menenangkan detak jantungnya yang menggila.

"Kamu sudah sembuh?" tanya Sakha langsung dengan ekspresi dinginnya yang khas.

Tanpa bisa ditahan, Airin menoleh ke belakang Sakha, mencari-cari sosok tiga kembang milik pria di hadapannya.

"Di mana yang lain?" tanya Airin heran, karena tumben sekali mereka tidak berkumpul di teras untuk mengantar Sakha yang berpamitan pergi.

"Kamu belum jawab pertanyaanku," sanggah Sakha dengan tidak senang.

Airin kembali menatapnya dan segera memasang senyum manis. "Tuan bisa lihat sendiri, aku sehat sekali!" jawab Airin dengan keceriaan yang dibuat-buat.

"Kamu ... yakin?" tanya Sakha, menatap Airin dari atas sampai bawah.

Menyadari tatapan yang diberikan oleh pria itu, kepala Airin langsung paham yang dia maksud. Apalagi hari ini adalah hari bebas Sakha dari istrinya yang manapun. Besok, adalah giliran Tia. Dan bersama-sama mereka akan pergi ke luar kota selama lima hari, seperti yang disampaikan Sakha di meja makan tadi.

"Jangan berani-berani mendekati paviliunku siang nanti!" kecam Airin, mendongak pada suaminya dengan tatapan setajam silet, senyum dan kepura-puraannya lenyap.

Sakha menyeringai lebar. "Kalau begitu ... sekarang boleh?"

Airin kehabisan kata-kata. "Pokoknya jangan!" serunya tertaham, menghentakkan kaki di tanah karena geram.

Seringai di wajah Sakha berganti dengan senyum lembut dan tulus. "Sepertinya kamu memang sudah sembuh. Baguslah!" ucapnya, lalu menepuk pelan pucuk kepala Airin sebelum dia berbalik dan melangkah pergi tanpa mengatakan apapun lagi.

Meninggalkan Airin yang termenung di tempatnya seperti patung lilin yang terancam akan meleleh dalam seketika.

🥀🌹🥀
*tbc*
[Asia July, 11/04/21.]

ISTRI KEEMPATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang