76. Rencana Yang Sama

19.4K 2.7K 226
                                    

Langit telah ditutupi oleh awan mendung semenjak sore, dan hujan akhirnya turun ketika malam tiba, mengirimkan rasa dingin yang membeku ke balik-balik tembok tebal di rumah. Bahkan selimut tidak akan cukup membantu kalau tidak berlapis-lapis.

Tangan Airin memutih dan ujung telapak jarinya mengerut. Semilir angin yang terasa basah berembus masuk ke dalam kamarnya, mengibaskan gorden putih yang basah. Dan Airin berdiri di hadapan jendela, menatap ke hujan di luar, tidak mempedulikan pada dingin yang menusuk-nusuk sampai tulang.

"Semakin rumit dan rumit," gumam Airin kepada dirinya sendiri, pandangannya tampak kosong sejenak.

Airin sudah mencoba untuk tidur, tapi kantuk tidak kunjung datang menghampirinya. Rasa mual kembali mengganggunya dengan semakin parah, berkali-kali Airin harus bolak-balik kamar mandi, sampai dia menyerah dengan tidurnya dan memilih untuk berdiri di sini.

Sepertinya, anaknya juga ikut merasakan perasaan yang tengah Airin rasakan sekarang.

Namun di antara semua kerumitan yang terjalin kusut di benaknya, satu hal yang pasti; Airin tidak akan menyerah begitu saja.

Anaknya akan dianggap menjadi anak Ria?

Jangan mimpi! Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.

Pendirian Airin masih tetap sama seperti di awal. Hanya saja kali ini, badai yang melandanya semakin besar.

"Tidak akan ada yang berubah. Mas Sakha tetap akan menjadi milikku ... dan milik anakku. Tidak akan ada yang berubah. Aku hanya harus memikirkan cara berbeda untuk menyingkirkan yang lain." Airin menggumam lagi, masih menatap ke depan, seolah dia tengah berbicara dengan seseorang. Suaranya terdengar bergetar, entah karena dingin atau justru karena emosi yang mati-matian dia tahan di dalam dadanya. Di mana pun di antara kedua itu, Airin masih berdiri tegak dan mampu meraih pikirannya.

Tapi yang mungkin akan dia lakukan kali ini akan sedikit tidak masuk akal, nekat, dan tidak tahu malu.

Airin sudah berada di titik di mana dia berharap bisa menyerah dan melepaskan semuanya begitu saja, tapi tidak bisa. Menyerah bukanlah pilihan, tidak ada opsi itu selain terus maju dan melakukan apa yang harus dia lakukan untuk anaknya.

Satu-satunya pegangannya saat ini hanyalah harapan, yang berupa kawat berduri-duri yang dia genggam dengan erat, yang tidak dia pedulikan rasa sakit yang menyertainya.

Suara deringan membuat Airin menoleh. Ponsel yang terletak di atas nakas dia ambil. Nama peneleponnya tertera jelas di layar.

"Airin," panggil sebuah suara yang sangat dia kenal, sekaligus dia rindukan.

"Hm."

"Kamu belum tidur."

"Ya."

Sakha terdengar menghela napas di seberang sana. Lantas mereka tiba-tiba saja tenggelam dalam keheningan. Hanya suara hujan di luar yang Airin dengar, tapi anehnya ini tidak terasa mengganggu dan Airin tidak merasa terburu-buru untuk memecah keheningan ini. Namun dia harus melakukannya.

"Ada apa Mas menelepon tengah malam begini?"

"Aku ... hanya hendak mengecek apakah kamu sudah tidur atau belum, ternyata belum."

"Mas merindukanku?"

"...!"

"Karena aku juga jelas merindukan Mas."

"Be-benarkah?"

"Hm."

"Airin, apa ... apa kamu baik-baik saja?" Suara Sakha terdengar tidak yakin. Dan memang sepatutnya begitu. Airin bahkan bisa membayangkan dengan jelas bagaimana ekspresi yang tergambar di wajah tampan suaminya sekarang.

ISTRI KEEMPATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang