75. Sudah Terlambat

17.5K 2.8K 435
                                    

Ada yang lebih buruk dari hanya sekadar berhadapan dengan Gani pada siang hari yang panas dengan amarah yang terpendam, seperti kemarin. Ya, ada yang lebih buruk dari itu, yaitu berhadapan dengan Tia pada malam hari yang dingin dan nyaris membuat Airin menggigil.

Sakha sudah pergi ke kota tadi sore, menjenguk orang tua Nia yang katanya sakit itu. Airin tidak bisa berhenti memikirkannya dan berdiam diri di paviliun entah kenapa terasa begitu sepi, sehingga dia bermaksud ke kamar Sakha dan tidur di sana. Namun, dalam perjalanannya Airin bertemu dengan Tia yang saat itu berada di dapur, duduk di meja bar dalam cahaya remang.

Airin mengantuk, namun di sinilah dia harus menghadapi satu lagi masalah, yaitu si istri kedua yang juga memenuhi isi kepala Airin sejak kemarin.

"Apa yang kamu rencanakan, Airin?" tanya Tia, suaranya terdengar dingin dan mengancam.

"...." Airin terdiam.

Gani kemarin bilang padanya, bahwa Tia nyaris tidak memiliki celah kesalahan apa pun untuk dia salahkan. Airin lelah memikirkannya. Kalau tidak ada, alasan apa yang harus dia gunakan untuk membuat Tia diceraikan oleh Sakha? Kalau tidak ada, apa Sakha tidak akan menceraikan Tia?

"Airin, aku tahu bahwa akhir-akhir ini kamu dekat dengan Gani. Apa sebenarnya hubungan kalian?" tanya Tia lagi. Walau suaranya terdengar tenang, tapi Airin tahu bahwa Tia tengah mencoba untuk membuatnya tersudut.

Namun butuh lebih dari itu untuk membuat Airin goyah. Dia tetap menatap Tia dengan tenang, sembari bersandar santai di pantri.

"Bukankah kemarin sudah aku bilang? Itu bukan urusan Kak Tia," kata Airin, mengucapkannya dengan senyuman yang kini Tia tahu adalah palsu.

"Jangan macam-macam, Airin!" ucap Tia dengan nada memperingati.

Airin menatapnya dengan humor yang mengerlip di mata indahnya. "Bukankah seharusnya aku yang mengatakan demikian?"

Tia mengernyit, tidak mengerti maksud Airin, tapi kemudian dia berkata lagi, "Kamu selingkuh dengan Gani," ucapnya cepat.

Airin tidak bisa lagi menahan tawanya yang lantas pecah begitu saja. Bayangan mengenai dirinya yang berselingkuh dengan pria semacam itu benar-benar lucu. "Bahkan di kehidupan berikutnya—kalau memang ada, aku tidak akan sudi menjadikan pria itu sebagai selingkuhanku."

Tia menyipitkan mata.

"Ah, jangan salah paham. Gani memang berwajah tampan dan kaya raya, tapi Kak Tia mungkin sudah tahu, dia sudah memiliki pasangan. Jadi tidak ada alasan untukku bermain dengannya, bukan begitu?"

"Kamu bertanya begitu, bagaimana aku bisa tahu apa yang sebenarnya kamu lakukan di belakang Mas?"

"Kenapa Kak Tia tiba-tiba sepenasaran ini?"

Tia terdengar menghela napas. Dia berdiri dari tempat duduknya, menghampiri Airin, dan berdiri di hadapannya sembari melipat tangan di dada.

Dia berdiri di sana, memperhatikan cukup lama lalu berkata, "Kamu berubah, Airin."

Tidak banyak yang memanggil Airin dengan nama panggilan itu, biasanya hanya Rin atau Ririn. Namun sepertinya, karena tembok penghalang yang kini muncul di antara mereka, yang sebelumnya ditutupi Airin dengan sikap ramahnya, Tia memutuskan memanggilnya seperti itu untuk menyadarkan mereka bahwa ada jarak yang tidak bisa ditembus.

Satu-satunya pengecualian yang Airin rasakan adalah ketika Sakha memanggilnya dengan nama itu. Terkadang Airin bahkan menganggapnya menggemaskan, ketika Sakha memanggilnya 'Airin' dengan suara lirih yang lembut.

Tapi sekarang jelas bukan waktu yang tepat untuk memikirkan pria itu! Airin menyadarkan dirinya sendiri. Dia kembali menatap Tia.

"Aku tidak berubah, Kak," sahut Airin, tersenyum.

ISTRI KEEMPATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang