89. Makan Malam

13.9K 2.3K 152
                                    

Setelah Sakha pergi, barulah si ibu kontrakan bertindak dengan keberanian yang tidak pernah dimilikinya sebelumnya untuk menghadapi sepasang pria dan wanita yang telah melakukan maksiat di kontrakannya itu. Keberaniannya bercampur dengan amarah membara.

Dia menggedor kamar kontrakan yang tadi, lalu memaksa pintunya terbuka. Dengan suara yang sengaja tidak dipelankan, si ibu kontrakan mengusir dua orang itu dari sana.

"Pergi kalian berdua dari sini! Dasar tidak tahu malu!" Si ibu kontrakan memelototi mantan suami Henia dan menyumpahinya dengan sederet kata bermakna kotor.

Henia keluar dari kamar setelah mengemasi barangnya dan menatap si ibu kontrakan marah.

"Heh, Nenek! Gue sudah bayar lu mahal-mahal ya buat tutup mulut. Kenapa lo biarin orang lain masuk sini dan buat—"

Ucapan Henia terpotong saat tiba-tiba saja suami si ibu kontrakan datang dan melempar segepok uang kepada Henia. Uang tersebut nyaris mengenai kepala Henia, tapi si suami ibu kontrakan sama sekali tidak merasa bersalah bahkan sekalipun gepokan uang itu berhasil membuat perempuan muda yang telah mengatai-ngatai istrinya tersebut terluka.

"Ambil semua uang haram itu! Saya tidak mau tahu pokoknya kalian berdua malam ini harus pergi dari sini! Atau saya dan warga akan ramai-ramai menggiring kalian ke kantor polisi terdekat!" Ancaman itu kini telah berbalik.

Si ibu kontrakan berkacak pinggang. "Dasar jalang tukang selingkuh! Keluar!"

Keributan itu mengundang perhatian penghuni kontrakan lain dan beberapa tetangga. Henia yang diusir dengan cara yang sangat hina dari sana benar-benar merasa malu. Dia berupaya untuk menutup wajahnya sedemikian rupa, namun itu tidak berhasil. Tanpa mempedulikan pria yang menjadi selingkuhannya itu, Henia berjalan cepat pergi dari sana.

Setidaknya, Sakha menunggunya di depan.

Namun, rasa senang Henia itu hanya datang sesaat. Di mobil, dia sudah mencoba menjelaskan kepada Sakha, tapi suaminya itu sama sekali tidak menghindahkan setiap ucapannya, bahkan meresponnya sekali pun.

Yang lebih parahnya lagi adalah Sakha membawanya pulang ke rumah orang tuanya. Henia begitu gugup dan ketakutan, takut kalau orang tuanya tahu mengenai apa yang sudah dia lakukan.

Mobil berhenti di depan rumah Henia yang mewah, yang semua kemewahan itu lebih banyak dia peroleh dari hasil pernikahannya dengan Sakha.

"Mas, kenapa kita datang ke sini?"

Sakha mematikan mesin mobilnya, lalu untuk pertama kali semenjak Henia masuk mobil, dia menoleh menatap wanita itu.

"Henia, mulai saat ini, kamu bukan lagi istri saya. Kamu saya ceraikan," kata Sakha. Suaranya terdengar tenang dan lancar, sementara ucapannya berhasil membuat Henia terguncang.

"Nggak! Mas nggak boleh ceraikan aku!" seru Henia tidak terima. Dia mengguncang bahu Sakha dan terus mengatakan tidak berulang kali dengan air mata yang sudah banjir menderai pipinya.

Bahkan Henia tidak merasa perlu untuk bertanya alasan apa yang membuat Sakha menceraikannya. Karena semuanya sudah terlalu terpampang dengan jelas. Dia bodoh karena mengira bahwa dia akan berhasil menyembunyikan semuanya sampai akhir. Pantas saja, beberapa minggu lalu saat gilirannya tiba, Sakha menolak untuk berhubungan dengannya. Sampai Henia muak dan malah melampiaskannya ke lelaki lain.

Kini semua kesadaran itu membuat Henia begitu menyesal.

Kalau Sakha menceraikannya, dia akan kembali menjadi gunjingan tetangga, dia akan kembali harus bekerja untuk mencari uang, dan teman-temannya yang selama ini dia dapatkan semenjak menikah dengan Sakha akan perlahan meninggalkannya. Bercerai dengan Sakha, sama saja artinya bahwa dunianya akan hancur.

Henia masih menangis saat dia duduk bersama keluarga besarnya di ruang tamu mewah rumah mereka. Dia melirik Sakha yang masih tampak sangat tenang.

Sementara kedua orang tua Henia dan adiknya menatap ke arah Sakha dengan was-was.

"Nak Sakha, ada perlu apa kedatangan Nak Sakha ke sini malam-malam begini?" tanya Ayah Henia.

Sakha menatap mantan mertuanya tersebut dengan serius. "Kedatangan saya ke sini adalah untuk mengantarkan Henia kembali ke orang tuanya, Pak. Saya bukan lagi suami Henia." Begitu singkat, padat, dan menusuk.

Ayah Henia tampak terkejut, ibu dan adik-adiknya juga sama. Hunjaman tatapan tajam langsung dihunuskan ke arah Henia.

"Maaf, kalau boleh tahu, apa ya alasannya, Nak Sakha?" tanya Ayah Henia hati-hati.

"Saya tidak cukup baik bagi putri Bapak. Sehingga dia lebih memilih mantan suaminya yang dulu daripada saya. Maafkan saya, Pak."

Keluarga besar Henia yang ada di ruangan itu langsung menunduk malu, mengerti maksud ucapan Sakha dengan sangat jelas.

~~~

"Mas!"

Lamunan Sakha seketika buyar dan kembali ke tempatnya. Dia menoleh ke arah sumber suara dan melihat Agistia, istri keduanya, telah berdiri di hadapannya.

"Tia." Sakha memaksa senyum. "Silakan duduk," lanjutnya.

Dengan senyum yang juga mengembang, Tia pun duduk di hadapan Sakha.

"Mas sudah pesan?"

Sakha menggeleng.

"Wah, sudah lama ya kita nggak dinner romantis. Aku pikir, kalau nggak sekarang, kapan lagi?" kata Tia.

"Benar," sahut Sakha asal.

Sembari melihat-lihat menu, Tia bertanya, "Bagaimana Airin?"

Sakha mengernyit. Dia tidak ingin membahas Airin sekarang, karena keinginannya untuk pulang saat itu juga semakin besar. Sementara di sini dia memiliki urusan yang tidak bisa ditunda.

Sakha lantas menjawab singkat, "Airin baik-baik saja."

"Oh, ya? Dia sudah keluar dari rumah sakit?"

Sakha mengangguk.

"Kecelakaan itu benar-benar mengejutkan. Bahkan Nia saja aku dengar masih belum sembuh."

"Nia masih menghubungimu?"

"Ya. Tepatnya, dia sering menghubungi Ria untuk meminta nasehat masalah bekas lukanya."

"Hm."

Tia sudah selesai memesan, begitu pun juga dengan Sakha.

Saat mereka kemudian hanya berdua dan memilih untuk bungkam sampai makanan tiba, Tia tiba-tiba saja berkata, "Bisa kita malam ini tidak membahas tentang Airin?"

Sakha lantas menoleh padanya, bertanya-tanya maksud Tia. Tapi pada akhirnya, dia mengangguk.

Tia tersenyum lega.

Namun Airin tidak lantas lenyap dari pikiran Sakha. Dia mengecek ponselnya dan mengetikkan sebuah pesan kepada pembantu rumahnya yang baru dia suruh bekerja hari ini untuk melayani Airin.

"Mas," panggil Tia.

"Hm?" Sakha beralih menatap Tia lagi.

"Boleh aku tanya sesuatu?"

"Ya."

"Apa Mas pernah mencintaiku?"

***
[to be continued]

Aduh, kira-kira apa ya jawaban Mas? 🤧
Jadi ikut deg-degan pas nulis ini 🙈

[ASIA, 17/09/21.]
Ig : @deltaxia

ISTRI KEEMPATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang