Karina mendelik mendengar perkataan Dimas. Maksud dia kan orang lain yang mungkin akan berpikir seperti itu, bukan pria itu juga. Lagipula untuk saat ini Karina sedang tidak ingin menjalin hubungan dengan pria mana pun. Dia hanya ingin fokus bekerja dan mengumpulkan uang untuk biaya usaha ibunya di kampung.
Sebagai anak tunggal, tentu Karina bertanggung jawab atas perekonomian keluarganya. Meski ibunya juga punya pendapat sendiri dari hasil usahanya, setidaknya setiap dua bulan sekali Karina selalu mengirimkan uang pada ibunya.
"Saya enggak bilang loh, Pak Dimas sendiri yang ngomong."
Dimas menghela napasnya. "Iya, saya yang salah. Jadi kamu mau jadi pacar saya?"
"Kan udah saya jawab, enggak."
Dimas menganggukan kepalanya. "Oke, saya coba dilain waktu." Gumamnya kemudian memegang tangan Karina.
Karina membulatkan matanya. "Eh, mau ngapain ini pegang-pegang?" Karina berseru.
"Kamu mau pulang, kan? Saya anterin pamitan ke ibu saya."
Karina menarik tangannya. "Ya udah enggak usah pegang-pegang juga. Pak Dimas jalan duluan nanti saya ikutin di belakang."
Dimas menghela napasnya kemudian berjalan lebih dulu. Karina berjalan sembari memperhatikan sekelilingnya. Sepertinya kamar hotel yang dipesan Dimas adalah tipe suit room karena terdapat dapur dan juga ruang tamu. Kaki Karina berhenti melangkah, di depan sana terdapat seorang wanita paruh baya sedang menatap intens dirinya.
Karina berdiri dengan kaku. Ayolah, situasi ini sangat tidak menguntungkan baginya. Meski tadi Dimas sudah mengatakan jika ada ibunya disini, tapi bukan berati Karina sudah mempersiapkan dirinya. Apalagi dengan keadaan dirinya yang baru saja sadar dari pingsannya, benar-benar membuatnya malu. Menghela napasnya, Karina kembali melangkah mendekat. Senyum tipis tersungging di bibirnya.
"Kamu Karina ya?"
Karina mengangguk sopan. "Iya, Bu. Saya Karina. Saya minta maaf karna udah buat kekacauan di pesta keponakan ibu, saya juga minta maaf karna udah ngerepotin Pak Dimas dan ibu." Karina berbicara panjang lebar.
Dimas tertawa mendengarnya. Menurutnya, Karina terlalu berlebihan. Ibunya bukanlah orangtua yang jahat pada anaknya ataupun pada orang lain. Justru tadi ibunya yang panik saat melihat Dimas menggendong Karina yang pingsan. Beliau juga yang menyewa kamar hotel dan langsung memasakkan bubur di dapur tadi.
Karina masih tidak berani menatap wajah ibu dari atasannya itu. Dahinya mengernyit ketika mendengar suara tertawa Dimas. Ia mendongak dan melemparkan tatapan bertanya.
"Kamu ngapain minta maaf kayak gitu? Enggak usah ketakutan gitu, ibu saya baik orangnya, iya kan, Bu?" Ujar Dimas dengan geli.
Karina menoleh ke arah depan. Ia tersenyum kikuk membalas senyum wanita paruh baya di depannya.
"Saya Ratih, ibunya Dimas. Maaf ya, pertemuan pertama kita malah kayak gini. Dimas ini susah banget kalo di suruh bawa kamu ke rumah."
Eh, apa maksudnya ini?
Hmm, Karina yakin pasti atasannya ini berbicara yang tidak-tidak pada ibunya. Lalu kalau sudah begini, Karina merasa tidak enak jika menyangkal perkataannya. Tapi menerimanya begitu saja juga bukan hal yang baik. Dimas ini, baru sekali di tolong perkara katak dalam sepatu saja sudah langsung menerornya dengan permintaan untuk menjadi kekasihnya. Apalagi jika Karina mengiyakan, mungkin bentuk teror nya lebih parah lagi, bisa-bisa hari esok nya Dimas dan keluarganya akan datang melamar. Yang benar saja!
"Eh, itu anu, Bu, kayaknya Pak Dimas salah orang deh. Mungkin maksudnya Karina yang lain, bukan saya." Ujar Karina.
Bu Ratih mengernyit bingung. "Nama kamu Karina Putri, bukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Call U Babe
General FictionYang Karina tahu pernikahan itu adalah hal yang rumit dan menyesakkan. Terlahir dari keluarga yang sebagian besarnya selalu bermasalah dalam pernikahan membuat Karina belum siap menikah diumurnya yang sudah melewati 'batas'. Namun ketika seseorang d...