Karina terdiam memperhatikan keluarga di depannya. Tangannya terangkat pelan, berusaha menarik sosok anak kecil yang terlihat mengintip dari balik pintu kamar ke dalam pelukannya. Isakan pelan lolos dari bibirnya yang bergetar, menahan tangis. Sebisa mungkin, ia ingin memeluk anak kecil itu.
"Mas, kan aku udah bilang aku masih mau berkarir. Kamu dulu juga setuju sama pilihanku, kenapa sekarang jadi marah-marah kayak gini sih?!" Teriak ibu dari anak itu.
"Dulu aku setuju karna belum ada anak diantara kita. Kamu pikir anak kita cuma butuh uang?! Dia butuh perhatian ibunya juga!" Balas sang ayah.
Karina semakin terisak ketika melihat anak kecil itu menatap bingung pada kedua orangtuanya yang saling berteriak. Meski tidak mengerti yang terjadi, anak itu tahu jika kini bukanlah saatnya ia merengek meminta untuk dibacakan dongeng sebelum tidur.
"Emang yang mau punya anak itu siapa?! Kan aku bilang kita tunda dulu sampai karir aku jelas!" Bentak sang ibu.
Merasa tak terima, tangan sang ayah terangkat berniat melemparkan tamparan pada istrinya.
"Mama." Panggilan kecil itu mengalihkan perhatian kedua orang dewasa yang tengah saling emosi itu.
Karina membekap mulutnya yang semakin terisak. Tatapan polos anak itu terasa menusuknya kini. Wajah yang terlihat sangat mengantuk itu tersenyum sembari berlari kecil ke arah orangtuanya. Bibir kecilnya mengerucut meminta sang ibu untuk menggendongnya.
"Uhh, Karina sayang kok belum tidur? Udah lewat dari jam tidur kamu loh." Ujar ibunya dengan lembut.
"Mama udah pulang? Hoamm.. bobo bareng Kalina aja, kalo papa ndak mau."
"Sayang, maafin Mama ya. Yuk kita bobo lagi, Mama temenin ya."
Klik.
"Woy mbak, lo dengerin cerita gue enggak sih?" Ujar Lea.
Klik. Klik.
"Sadar, mbak, gue ngomong dari tadi enggak didengerin." Ujar Lea sembari memetikan jarinya.
Karina mengerjap dengan cepat kemudian mendorong tangan Lea yang masih berada di depan wajahnya. Menghela napas pelan kemudian Karina merengut ke arah Lea.
"Lo mah ngangguin gue ngehayal aja. Lagian ngapain coba lo ceritain soal bulan madu lo? Enggak ada untungnya buat gue, cuma buat gue iri aja." Dengus Karina.
"Itu tujuan gue, mbak. Lo mulai ngerasa iri kan? Kalo iya, segera terima Abang gue, mbak. Kasian bang Dim--Pak Dimas lo gantungin perasaannya. Sedih gue liatnya."
Karina memicingkan matanya. "Lo disogok apa sama dia?"
"Enggak disogok apa-apa kok, mbak. Enggak bohong gue mah, cuma kemarin emang dia tiba-tiba dateng ke rumah sambil bawa kado gitu, mbak. Emang itu bisa dikategorikan sebagai sogokan ya?"
Karina tersenyum kecil. Tak perlu menjawab, Karina rasa juga sebenarnya Lea mengerti maksud dari kado yang diberikan oleh Dimas. Ia berpikir sejenak, menimbang-nimbang apa dia harus bertanya pada Lea atau tidak. Karina menarik napas panjang sebelum akhirnya menatap kembali Lea.
"Lea, gue mau nanya dong."
Lea menaruh gelas minumannya ke atas meja dan menatap penuh ingin tahu. Ia paham, jika kakak seniornya ini memanggil namanya dengan benar, berarti ada hal yang ingin dia tanyakan dengan serius.
"Kenapa, mbak?"
"Eumm.. apa definisi pernikahan menurut lo? Secara pribadi ya." Tanya Karina dengan ragu.
Lea memiringkan sedikit kepalanya. Keningnya mengernyit, bukankah pertanyaan Karina terlihat aneh saat ini?
"Lo ngapain--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Call U Babe
General FictionYang Karina tahu pernikahan itu adalah hal yang rumit dan menyesakkan. Terlahir dari keluarga yang sebagian besarnya selalu bermasalah dalam pernikahan membuat Karina belum siap menikah diumurnya yang sudah melewati 'batas'. Namun ketika seseorang d...