The First Night, "The Night Of The Massacre"

79 8 0
                                    

Drap drap drap

  Aku berlari dengan perasaan takut. Bau darah tercium pekat menghiasi langit malam kota tempatku tinggal. Napasku tesengal, menoleh kebelakang, berharap mereka tidak mengejarku. Angin malam berhembus kencang, suara api bergemeletuk terdengar sejauh pendengaranku bisa mendengarnya, juga suara langkah kaki empat orang dewasa yang mendekat.

BRUK

  Aku terjatuh, kakiku tidak sengaja terantuk puing-puing bangunan yang berserakan. Suara langkah kaki semakin dekat, aku kembali berlari menjauhi empat orang itu. Tapi gerakanku semakin lama semakin lambat, peluh mengucur deras, bersamaan dengan air mata yang tidak dapat terbendung lagi.

BRUK

  Sekali lagi aku terjatuh, baju dress putih yang kukenakan sudah kotor oleh debu dan percikan darah, rambut panjangku berantakan, telapak kaki kecilku sudah tergores di sana-sini, alas kaki yang kukenakan entah ada dimana sekarang.

  Aku berusaha berdiri kembali, kondisiku sangat buruk. Persis saat aku baru saja berdiri mantap. Keempat orang itu lebih dulu menemukanku, bahkan dua diantaranya sudah memegangi lenganku agar aku tidak bisa kabur.

  "Akhirnya tertangkap juga, kau tidak bisa kabur dariku." Salah satu orang yang mengejarku itu terkekeh—dia sepertinya adalah pemimpin dari ketiga yang lainnya.

  Aku meronta-ronta melepaskan diri. Tapi cengkraman kedua orang itu sangat kencang, membuat lenganku merah.

  "Malam ini, kupastikan klan Noche menghilang. Seluruh dunia akan melupakan betapa hebatnya klan Noche yang terkenal itu. Tidak akan kusisakan sedikitpun dari klan Noche yang masih hidup, termasuk kau." Orang itu berseru lantang, tertawa terbahak-bahak "Bunuh dia sekarang juga."

  Aku terbanting, dipaksa untuk duduk. Lenganku mati rasa, lecet di kakiku semakin banyak. Orang yang diperintahkan untuk membunuhku mengangguk, aku tidak bisa berbuat apa-apa.

  Angin malam menusuk tulang, aku menangis terisak. Lenganku tersayat oleh serpihan kaca yang terpelanting, darah mengalir membuat dress putihku ternodai. Sungguh, tidak ada keajaiban untukku. Anak berumur lima tahun yang tidak tahu apa-apa tentang dunia justru akan terbunuh oleh dunia yang tidak diketahuinya. Mataku menatap jeri pedang yang akan membuat nyawaku menghilang malam ini.

  "Selamat tinggal." Pemimpin mereka tersenyum dingin.

CRAAT

  Darah bermuncratan mengenai wajahku. Ini aneh, aku sama sekali tidak merasakan sakitnya tusukan pedang. Aku perlahan membuka mata yang sejak tadi kututup. Mataku membelalak. Seseorang lebih dulu melindungiku dengan nyawanya.

  "Cayena, tetaplah hidup untuk kami." Dia menoleh kebelakang, tersenyum tulus ke arahku, lantas tubuhnya ambruk ke jalanan.

  "Ke...na...pa...kakak menjadi perisai untukku?" Aku menatap kakak keduaku yang baru saja mengorbankan nyawanya demi menyelamatkanku, tubuhnya sudah berlumuran darah, wajahnya pucat. Malam ini, sekali lagi aku menyaksikan kematian orang terdekatku dengan mengenaskan.

  Pemimpin mereka berseru marah, berteriak kalap menyuruh bawahannya agar segera membunuhku. Pedang yang sama kembali menyerangku untuk yang kedua kalinya. Pikiranku dipenuhi oleh kejadian-kejadian beberapa saat sebelum ini. Papa dan mama yang dibunuh dengan kejam, anak-anak kecil yang berteriak kesakitan, orang-orang yang tergeletak bersimbah darah sepanjang jalanan, wajah-wajah pucat, rumah-rumah kami yang dibakar, kakak kedua yang mengorbankan nyawanya demi melindungiku, semuanya.

  Kepalaku rasanya mau pecah, aku berteriak kencang. Aku sudah tidak tahan lagi. Warna iris mataku berubah, bola mataku membuat sebuah pola khas klan Noche. Sekali lagi aku berteriak, pasir besi menempel di baju bagian belakang. Bersatu membuat empat buah benda seperti ekor serigala dengan ujung seperti tombak yang tajam. Dua orang yang mencengkram tanganku melepaskannya, aku menunduk, menopang tubuhku dengan tangan, mencoba menahan berat pasir besi di punggungku.

NoctisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang