Jalan tol lengang. Aku menghela napas lega, tidak melihat tanda-tanda mereka akan terus mengejar.
"Maaf soal mobilmu, akan kuganti dua kali lipat lebih keren." Kakak bergurau, berusaha mencairkan suasana.
Dietrich menggeleng. "Tidak apa-apa." Walaupun terlihat dari wajahnya dia agak sedih melihat mobil sedannya menjadi samsak M16.
"Mereka siapa?" Aku bertanya.
"Klan Sensu." Kakak menjawab. "Kau lihat lambang mereka? Tiga kipas sensu yang saling berhadapan bermotif ombak dan bunga wisteria."
"Aku pernah melihatnya." Dietrich mengusap wajahnya. "Mereka selalu menyerang berkelompok. Tidak peduli rekannya lemah atau tidak, mereka selalu mementingkan jumlah."
"Kau tahu dari mana?" Kakak menyisir rambutnya.
"Aku pernah bertemu dengan mereka, berberapa kali."
Kakak mengangguk-angguk. Mobil menuruni highway. Berbelok ke arah kiri. Setelah 500 meter, jalan mulai menanjak. Ini bukan jalan tol lagi, satu-dua orang terlihat melintas, mengamati bagian belakang mobil dan depan yang sudah terkena peluru.
Kakak mengambil kanan. Terlihat pabrik tua terbengkalai. Mobil memasuki area pabrik tua, pabrik itu sudah tidak terurus. Catnya banyak yang mengelupas, kaca-kaca bangunan pecah. Bahkan sebagian bangunan pabrik sudah runtuh.
"Kita parkir di sini." Kakak keluar. Meregangkan badan. Kita sudah jauh dari ibu kota. "Bawa ini Cay."
"Ini apa?" Aku bertanya. Menerima sebuah tabung berdiameter satu cm.
"Coba tempelkan salah satu jarimu ke bagian tengah tabung."
Aku menuruti perintah kakak. Dan seketika...
"Wah. Daebak! Ups." Aku menutup mulut. Aduh, ini efek kebanyakan menonton drama. "Maksudku, ini keren."
Tabung itu berubah menjadi sebuah tombak saat aku menempelkan ibu jari ke bagian tengah tabung.
"Ayo, kita belum aman. Aku tahu pertahanan terbaik di daerah ini." Kakak menepuk-nepuk kepalaku.
"Kakakmu sepertinya baik?" Dietrich berbisik. Kami berjalan keluar dari area pabrik tua. "Kau membencinya?"
Kepalaku mengadah ke langit. "Kupikir begitu. Tapi sekarang aku tidak tahu."
***
Sudah dua jam kami berjalan tanpa henti. Napas Dietrich dan aku mulai tersengal. Sementara kakak baik-baik saja di depan. Sehat walafiat.
"Kak... ayo duduk dulu." Aku menyeka keringat.
"Sebentar lagi sampai."
"Ayolah, bahkan dari tadi kita sudah menanjak dan menyusuri hutan ini entah kemana. Tidak ada jalan setapak atau tanda-tanda kehidupan."
Kakak sama sekali tidak menggubris. Dia justru berjongkok saat melihat beberapa rubah mendatangi kami. Kakak berbicara sesuatu, seperti paham apa yang dibicarakan kakak, rubah-rubah itu seolah menyuruh kami untuk mengikuti mereka. Memang lucu sih, tapi apa tidak seram berbicara dengan hewan? Apa kakak kerasukan seusatu?
"Kenapa bengong saja? Ayo cepat Cay, temanmu itu bahkan sudah menunggu."
"Eh, oh, iya." Aku menangguk, suara kakak membuyarkan lamunanku barusan.
Kami semakin dalam memasuki hutan. Suara jangkrik, burung-burung berkicau, dan gemerisik daun yang diterpa angin. Sesekali kancil-kancil melintas. Dan semakin dalam pula semakin banyak rubah yang berkeliaran, entah itu sedang tidur, duduk, menggeliat, bersembunyi di balik pohon, atau sedang duduk-duduk santai di atas pohon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Noctis
Teen Fiction[ FANTASY & THRILLER ] Tidak semua orang memiliki masa lalu yang bahagia, sama sepertiku. Saat umurku lima tahun, seluruh anggota keluargaku mati mengenaskan--ralat, seluruh keluarga besar, malam itu lautan darah sejauh mata memandang terlihat di a...