The Sixth Night, "Tower"

40 5 0
                                    

// CHAPTER INI ADA BGM NYA :DDDDDD //

 ***

  Stasiun ramai. Sedang rush-hour, para pekerja kantoran mendominasi stasiun, dengan wajah lelah dan sebagainya. Juga anak-anak sekolah yang masih masuk. Khususnya anak-anak perempuan, sejak tadi melirik ke arah Dietrich—yang bahkan tidak peka keadaan sekitar. Asyik melihat telepon genggamnya sendiri.

Aku menarik lengan baju Dietrich saat kereta merapat di peron, menariknya masuk. Bisa-bisa dia tertinggal kereta seperti yang pernah kami alami saat masih sekolah dasar.

Sepuluh menit. Kami melangkah menuju tower paling terkenal di kota. Yang bahkan namanya sudah meluas ke seluruh negeri. Tokyo Tower. Aku menatap Tokyo Tower dari kejauhan. Suara lalu-lalang memenuhi sekitar. Anak-anak yang berlarian, penjual yang sedang menwarkan jualan mereka. Juga kesibukan malam kota Tokyo yang makin ramai.

"Aku sedikit iri." Dietrich menatap anak-anak yang berlarian bebas.

"Kenapa? Kau baik-baik saja?"

"Tidak jadi." Dia terus berjalan.

Lagi-lagi. Dietrich memang seperti itu, tapi dia tidak pernah mengeluh. Lagipula, dia sudah melupakan masa kecil bersama orang tuanya. Itu bukan masa-masa yang menyenangkan bagi Dietrich.

Persis berjalan setengah meter. Orang berjubah dua hari yang lalu menghampiri kami. Aku nyaris tidak mengenalinya. Seperti anak remaja kebanyakan, dia memakai sepatu kets, celana panjang, dan kaus lengan pendek. Sangat stylish dan up to date—walaupun anting khas poiesis tetap menggantung di telinga kanannya.

"Senang bertemu dengan kalian lagi nona Cayena dan tuan muda Dietrich." Orang itu menyeringai tipis. Dia lebih tinggi dari Dietrich, wajahnya tak kalah tampan. Rasanya aku seperti berdiri di antara member grup idol terkenal itu.

"Apa yang ini kau bicarakan dengan kami?" Aku bertanya ke langsung ke intinya.

"Jangan di tempat ini, mari ke tempat yang lebih mencolok." Dia menempelkan jari telunjuk di bibirnya.

Aku dan Dietrich saling tatap. Apa maksudnya? Kami hanya membuntuti dari belakang. Tidak berkomentar sama sekali. Sesekali Dietrich berbisik mengeluh. Curiga orang itu akan membawa kami berdua ke tempat aneh-aneh.

Ternyata perkataan orang itu tidak memiliki maksud lain. Dia benar-benar membawa kami ke tempat mencolok. Tempat di mana orang-orang berkumpul. Sangat mencolok saking ramainya. Aduh, kalau begini bukannya justru orang-orang bisa mendengar percakapan kami yang tergolong top secret?

"Ey, tenang saja. Aku tahu maksud ekspresi wajah kalian. Mereka terlalu sibuk menikmati kembang api malam ini. Kalaupun ada yang mendengar, toh mereka tidak akan paham. Hanya menganggap imajinasi remaja semata."

"Tunggu, kau masih sekolah?" Dietrich mengerutkan kening. Mungkin dia pikir orang itu sudah lulus. Yah, kupikir juga gitu.

"Ey. Tentu saja. Aku ini kakak kelas kalian lho."

"Bagaimana kau tahu kalau kami—"

Orang itu lebih dulu menyuruh Dietrich diam, dengan menempelkan jari telunjuknya di bibir. Lalu dia berjalan ke salah satu kios makanan.

"Bibi~ Pesan dango empat tusuk ya." Dia membuat angka empat dengan jari-jarinya.

Bibi penjual mengangguk. Menyiapkan pesanan.

"Eh? Kok empat? Bukannya kita hanya bertiga?" Dietrich yang entah kenapa hari ini banyak bertanya.

"Memangnya kenapa heh? Dua untukku, kalian berdua satu-satu saja."

NoctisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang