Dua

4 1 0
                                    

Bel pulang sekolah berbunyi. Aira merapikan buku-bukunya yang berserakan di atas meja, juga beberapa buku milik Reinda. Ah ya, mengingat tentang cowok itu, seharian ini Reinda sama sekali tidak kembali ke kelas. Aira tahu, cowok itu sedang berada di lapangan basket indoor.

Aira sama sekali tidak berniat menyusul Reinda kesana, meskipun seharusnya Aira pulang bersama dengan Reinda seperti biasanya. Aira berjalan keluar dari kelasnya, diam-diam ia merasakan ada suatu bagian dari dirinya yang menghilang, tentu saja, hal ini membuatnya 'sedikit' kesepian tanpa ada Reinda di dekatnya.

Aira melangkahkan kakinya di trotoar depan sekolahnya, kepalanya menunduk, sesekali mendongak untuk melihat apakah ada angkot yang melintas. Ya, hari ini Aira memutuskan untuk pulang naik angkot saja. Aira akan membuktikan pada Reinda bahwa ia lebih dari sekedar mampu meskipun tanpa ada Reinda di sampingnya.

Setengah jam kemudian, Aira mulai gusar. Pasalnya sejak tadi tidak ada angkot sejurusan rumahnya yang lewat di depan sini. Hingga suara derum motor membuatnya sedikit mengulas senyum.

"Ren­- Eh Satria, baru pulang?"

Gatra mengangguk. Mata Aira menatap pada Gatra yang saat ini tampak gagah mengenakan seragam futsal. "Iya ada latihan futsal tadi. Lo nunggu siapa?"

"Angkot." Lirih Aira. Wajahnya memerah karena panas.

"Bareng gue aja yuk?"

"Hah?"

"Gue anterin pulang."

Aira menggelengkan wajahnya. Aira tidak suka diantar pulang oleh orang asing.

"Nggak papa kali. Kita kan teman?"

Temen pala lo mendem. Batin Aira. Cewek itu tidak suka dengan orang asing, sekalipun ia dan Gatra sudah berkenalan tadi.

Matanya berkelana liar sembari sesekali merapalkan doa agar Gatra segera pergi dari hadapannya, atau paling tidak, ada satu angkot yang lewat di depannya. Aira sungguh membenci situasi seperti ini.

Hingga tanpa sengaja matanya menatap sosok Reinda yang baru saja keluar dari gerbang, Aira berteriak girang tentunya, amarahnya meluap begitu saja, gadis itu seakan lupa bahwa tadi ia bermusuhan dengan Reinda.

"Reinda..."

"Iya. Gue pulang bareng Reinda."

"Satria, makasih ya tawarannya. Tapi tadi gue udah ada janji sama Reinda."

"Duluan ya," Ujar Aira dengan tersenyum pada Satria. "Oke deh. See ya." Jawab Gatra seadanya. Entah mengapa wajah cowok itu berubah mendung. Aira mengerti itu, tapi ia lebih memilih untuk tidak peduli, karena memang tidak penting sama sekali baginya.

"Hai, Rein..... Da."

"!Wajah lo kenapa?!!!" Aira berteriak histeris menatap wajah Reinda yang memar di sudut matanya serta sedikit ada darah yang mencuat keluar di area bibir cowok itu.

"Lo tuh bisa banget bikin gue khawatir."

"Kalau keluarga lo tau gimana?"

"Bunda sama Teteh pasti bakal sedih banget liat lo begini, Rein."

"Reinda, kenapa diem terus sih?"

"Ngomong dong?!!!"

"Suara lo abis? Tenggorokan lo sakit? Bibir lo sariawan? Hah? Kenapa sih?!"

Reinda tetap diam saja, membiarkan Aira bersuara sendiri tanpa berniat membalas ucapan gadis itu. Bagi Reinda, omelan Aira adalah sebuah senandung merdu sesejuk air yang ia teguk seusai melakukan perjalanan jauh. Gadis itu begitu perhatian padanya. Reinda suka.

AM I [IN]VISIBLE?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang